disadur dari skripsi Fr. Alexander fatunitsae
JALAN KESELAMATAN DALAM FILSAFAT
CAHAYA SUHRAWARDI
Suatu Tinjauan Deskriptif-Kritis
LATAR BELAKANG LAHIRNYA FILSAFAT CAHAYA SUHRAWARDI
Suhrawardi termasuk seorang filosof (filsuf) dan teosof[1] yang cukup terkenal. Ia hidup ketika filsafat dalam dunia Islam sedang berada pada posisi tidak menentu akibat serangan dari berbagai kelompok ortodoks. Dalam situasi demikian, ia tampil dengan filsafat cahaya sebagai wahana pencerahan untuk mengharmonisasikan pertentangan-pertentangan itu. Ia membangun suatu metodologi pemikiran dari dua tradisi besar dalam sejarah Islam. Pertama, ia mengadopsi metode diskursif yang bercorak rasional-filosofis dari filsafat Helenistik, Persia kuno, dan dari dunia Islam sendiri. Kedua, ia juga mengadopsi tradisi tasawuf[2] sebagai metode eksperiensial yang memiliki corak spiritualistik sufistik yang merupakan warisan dari tradisi tasawuf sebagaimana yang terdapat dalam dunia Islam, Zoroastrianisme, dan neo-Platonis.
Filsafat cahaya Suhrawardi merupakan bentuk rekonsiliasi dan sintesis dari berbagai pandangan filosofis yang ada dalam dunia Islam sebelumnya. Secara garis besar, ada dua hal yang melatar-belakangi munculnya pemikiran Suhrawardi. Pertama, reaksi kaum ortodoks atas filsafat. Pada tahap ini, kaum ortodoks memiliki konsep negatif terhadap kajian filsafat. Kedua, situasi kondusif yang memungkinkan pemikiran Suhrawardi mendapat tempat dalam dunia filsafat Islam. Suhrawardi hadir sebagai pembawa penyempurnaan pemikiran dalam dunia Islam.
Lewat argumen-argumen filosofisnya, Suhrawadi mampu menjelaskan ajaran tasawuf secara rasional. Suhrawardi mengadakan rasionalisasi melalui pemikirannya yang disebut Hikmat al-Isyraqiyyah[3] dengan konsep cahaya (mahhiyah al-nur).[4] Pemikiran Suhrawardi menandai babak baru sebuah filsafat keagamaan dan mistisisme[5] Islam. Suhrawardi hendak mentransendentasikan filsafat peripatetik[6] berdasarkan epistemologis yang penting kepada wahyu dan visi mistis. Konsep cahaya Suhrawardi lebih melukiskan filsafat mistis yang sistematis.[7]
KARYA-KARYA
Karya-karya yang membentuk filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi dapat dibagi dalam dua aliran, yakni aliran yang bersifat diskursif dan aliran yang bersifat intuitif. Aliran yang bersifat diskursif dikelompokkan atas tiga bagian. Pertama: al-Talwihat (The Book of Intimation), sebuah karya yang ditulis dalam bahasa Arab dengan memakai metode peripatetik.[8] Suhrawardi memakai metode peripatetik untuk menganalisis persoalan-persoalan dalam filsafat diskursif, kemudian ia menarik kesimpulan atas kebenaran terhadap suatu obyek tertentu[9] dan untuk menjelaskan proses pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi[10]. Kedua: al-Muqawamat (The Book of Oppositions), suatu karya yang mengacu kepada illuminasi yang lebih spesifik dan memiliki unsur diskursif yang lebih sempurna karena sistematika penyajiannya tentang filsafat illuminasi tersusun sangat teratur.[11] Ketiga: al-Masyari’ wa al-Mutharahat (The Book of Conversations), suatu karya yang menggambarkan filsafat illuminasi dan hasil analisis secara lebih mendalam dan terperinci.[12] Aliran yang bersifat intuitif, meliputi Hikmat al-Isyraqiyyah (The Theosophy of the Orient of Light), suatu karya yang memuat konsep Cahaya dalam filsafat illuminasi Suhrawardi. Karya ini disusun bersumber pada pengalaman intuisinya sendiri. Ia mengkombinasikan antara filsafat diskursif (al-hikmat al-bahtsiyyah) dengan pengalaman mistis.[13]
JALAN KESELAMATAN DALAM FILSAFAT CAHAYA SUHRAWARDI
Inti dari filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi adalah sifat dan pembiasan cahaya. Menurut Suhrawardi, Cahaya tidak dapat didefinisikan karena merupakan realitas yang paling nyata, jelas bahkan maha jelas, maha terang dan maha cemerlang. Bertitik tolak dari sifat kesempurnaannya, Suhrawardi memahami cahaya sebagai realitas ketuhanan, yakni Allah sendiri (Nur al-Anwar: Cahaya segala Cahaya).[14] Dengan demikian, maka Allah dilihat sebagai sumber dan Cahaya, yang dari-Nya akan lahir cahaya-cahaya lainnya. Cahaya-cahaya lain ada karena ditopang oleh Nur al-Anwar.[15]
Menurut Suhrawardi, kosmos dan seluruh isinya diciptakan melalui pancaran cahaya dari Nur al-Anwar. Dalam penyebarannya, Nur al-Anwar beremanasi dan melahirkan nur al-aqrab (cahaya pertama). Nur al-aqrab memiliki unsur kesamaan dengan sumbernya, hanya berbeda dalam tingkat kesempurnaan. Dalam merealisasikan dirinya, nur al-aqrab tetap bergantung pada Nur al-Anwar karena dia tidak sempurna dan mendapat pelimpahan cahaya melalui Nur al-Anwar. Ketika nur al-aqrab memikirkan dirinya, ia melahirkan bayangan pertama yang disebut ismus atau barzah[16] tertinggi. Berkat saling ketergantungannya dengan Nur al-Anwar, maka lahirlah cahaya kedua. Cahaya kedua akan memperoleh pancaran cahaya sebanyak dua kali, yakni satu kali dari nur al-aqrab dan satu kali dari Nur al-Anwar. Kemudian, cahaya kedua akan melahirkan cahaya ketiga. Cahaya ketiga akan menerima sebanyak empat kali pancaran, yakni dua kali dari cahaya kedua dan dua kali dari Nur al-Anwar. Selanjutnya, cahaya keempat menerima sebanyak delapan kali pancaran; dan cahaya kelima menerima enam belas kali pancaran. Jadi, setiap cahaya akan memancarkan cahaya secara berbeda-beda. Proses pemancaran dari satu cahaya ke cahaya berikutnya terjadi secara musyahadah (tanpa perantara).[17] Ia menembus setiap realitas dalam alam semesta, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik.
Proses emanasi cahaya-cahaya seperti di atas akan membentuk suatu keabadian gerak. Setiap gerakan selalu bergantung pada gerakan sebelumnya.[18] Gerakan-gerakan cahaya akan menyebabkan pembauran antara kualitas-kualitas yang berlawanan dengan benda-benda tertentu, sehingga menghasilkan entitas-entitas fisik. Gabungan yang paling sempurna dari entitas-entitas itu akan menghasilkan manusia dengan perantaraan malaikat Gabriel. Cahaya manusia dapat disamakan dengan buah kecakapan jasmani, yang di dalamnya ada unsur “kegairahan” atau sifat menguasai, unsur apetitif (afeksi), sifat lekas naik darah, memelihara (nutritive) dan berkembang biak (reproduktive).[19]
Suhrawardi mengatakan bahwa jiwa manusia memancar dari intelek kesepuluh.[20] Ia memahami intelek kesepuluh sebagai Roh Kudus dan roh kemanusiaan: satu disebut sebagai intelek-intelek (intelek biasa) dan satu lagi disebut sebagai intelek pencerah (uqul wa maqulat). Esensi dan eksistensi kedua intelek tersebut tidak ditentukan oleh lapisan yang paling bawah. Kedua intelek itu memiliki kecerdasan (inteligensi) dan disertai dengan jiwa surgawi dan tubuh murni.[21]
Di atas telah dijelaskan bahwa kosmos dan seluruh isinya diciptakan melalui pancaran cahaya dari Nur al-Anwar. Nur al-Anwar menjadi penyebab utama setiap realitas dalam alam semesta. Pancaran sinar-Nya membuat semua makhluk ciptaan, khususnya manusia merasa tertarik dan rindu untuk datang kepada-Nya. Rasa ketertarikan dan kerinduan manusia untuk makin dekat dengan Allah dapat dicapai di dalam praktek kehidupan mistik. Dengan demikian, mistisisme merupakan suatu proses yang membantu manusia menuju tahap pencerahan (illuminasi). Proses ini akan menghantar manusia kepada persatuan radikal dengan Nur al-Anwar, sehingga mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup kekal.[22]
Menurut Suhrawardi, ada beberapa tahap yang harus dijalankan oleh manusia untuk mencapai keselamatan dan hidup kekal. Tahap pertama: pengetahuan nalar. Pada tahap ini, manusia menangkap realitas alam semesta dengan kekuatan akal. Tahap kedua: kemampuan intuisi. Pada tahap ini hasil pengetahuan nalar diproses secara intuitif sehingga mampu memahami realitas ilahi dalam alam semesta. Tahap ketiga: praktek askese. Pengetahuan yang telah diperoleh melalui kemampuan intuitif akan menuntun manusia masuk dalam kehidupan yang penuh mistik melalui praktek askese. Di dalam praktek askese, manusia menerima pencerahan dari Nur al-Anwar. Tahap Keempat: pencerahan. Jiwa manusia yang telah mendapat pencerahan akan dimurnikan; dan setelah kematian, jiwanya akan mengalami kebahagiaan, yakni kehidupan abadi (tahap eskatologis) di surga.
PENUTUP
Suhrawardi adalah seorang filosof (filsuf) dan teosof (teolog) yang tergolong masih sangat muda, berwawasan luas dan memiliki daya juang yang tinggi. Suhrawardi mengembangkan filsafat Isyraqiyyahnya melalui pengalaman intuisi dan mistik. Ia mengkombinasikan filsafat diskursif dengan pengalaman mistis. Di dalam pengalaman mistik, Suhrawardi dapat menangkap kehadiran ilahi yang memanifestasikan diri melalui realitas alamiah.
Filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi merupakan ajaran spiritual yang sangat rasional. Secara implisit, Suhrawardi hendak mengatakan bahwa kehidupan manusia di dunia bersifat sementara. Jiwa manusia terbelenggu oleh ikatan materi sehingga menghambat proses perjalanan kembali kepada Nur al-Anwar. Oleh karena itu, manusia perlu hidup dalam kesufian yang penuh mistik agar melepaskan jiwa dari ikatan materi. Praktek hidup mistik bertujuan untuk mengarahkan manusia masuk dalam tahap kontemplasi dan askese. Di dalam komtemplasi dan askese, manusia akan menerima pencerahan dari Nur al-Anwar sehingga mencapai kesempurnaan hidup, yakni kesucian. Dengan demikian, manusia mencapai kesatuan penuh dengan Allah dan memperoleh kebahagiaan, yakni hidup kekal.
Suhrawardi adalah seorang tokoh yang telah mampu mengungkapkan suatu sintesa antara penalaran atau intelektual teoretis melalui filsafat Isyraqiyyah dan pemurnian hati dalam praktek sufisme. Suhrawardi merefleksikan realitas ilahi yang memanifestasikan diri di dalam realitas alamiah. Berhadapan dengan kedua realitas tersebut, diharapkan agar manusia menanggapinya dengan daya sensibilitasnya yang tinggi. Sistematika pemikiran Suhrawardi ini berhasil mengukuhkan pandangan dunia baru dalam Islam yang tetap bertahan sampai hari ini. Suhrawardi telah menciptakan suatu metafisika cahaya secara esensial yang sangat mulia melalui ruangan kosmik dan membimbingnya kepada kekuatan cahaya tertinggi, yakni Nur al-Anwar.[23]
Suhrawardi mampu membangun suatu filsafat yang cemerlang dan berdayaguna bagi generasi berikutnya. Walaupun demikian, secara metodologis, Suhrawardi mengabaikan orisinalitas pemikirannya sendiri. Suhrawardi mengadopsi atau mengambil sumber dari hasil pemikiran Plato, Hermes, dan filsuf-filsuf agung lainnya. Metodologi filsafat Isyraqiyyahnya didasarkan pada metodologi filsuf Persia, misalnya: Zoroaster. Mengkritisi pemikiran Suhrawardi, dapat dikatakan bahwa ajarannya tidak orisinal dan bukanlah khas ajaran Islam. Selain itu, Suhrawardi mengikuti gaya pemikiran Ibn Sina, khususnya dalam ilmu alam dan ketuhanan. Sistem hirarki cahaya Suhrawardi lebih mengacu kepada paham panteisme. Hal ini nampak dalam pandangannya bahwa keseluruhan Tuhan adalah wujud dan keseluruhan wujud adalah Tuhan. Filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi merupakan suatu bentuk ajaran yang di dalamnya tergabung unsur-unsur Islam, Zoroastrianisme, Hermes, dan lain sebagainya.[24]
Filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi kurang berkembang dalam dunia Islam Suni, karena kaum Suni mendasarkan ajarannya pada Al-Qur’an, sunah[25] (tradisi) Muhammad, ijma, dan qias[26]. Dalam bidang teologi, kaum Suni sangat menekankan sifat keesaan Allah dan membentengi tasawufnya dengan Al-Qur’an dan sunnah.[27] Bentuk hidup yang ditekankan adalah praktek hidup kesufian. Kaum Suni menolak segala bentuk rasionalisasi. Filsafat dianggap bertentangan dengan sifat keesaan Allah dan berbahaya terhadap kemurnian akidah.[28]
Di atas telah dijelaskan bahwa ajaran filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi kurang berkembang dalam dunia Islam Suni. Kendatipun demikian, dalam dunia Islam Syi’ah[29] ajaran filsafat Suhrawardi dipandang sebagai landasan untuk membangun hidup kerohanian. Inilah dasar utama yang membuat ajaran filsafat Suhrawardi berkembang subur dalam dunia Islam Syi’ah. Di kemudian hari, dalam dunia Islam filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi sangat berpengaruh dan tetap berkembang hingga sekarang.[30]
Suhrawardi mendasarkan filsafatnya pada dua tradisi pemikiran[31] dalam Islam, yakni aliran peripatetik dan aliran iluminasi. Filsafat Suhrawardi adalah perpaduan antara filsafat peripatetik dengan mistisisme Islam. Suhrawardi hadir sebagai tokoh yang membawa wahana baru bagi pemikiran filsafat dalam dunia Islam Suni. Filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi membangkitkan kembali pemikiran filsafat yang telah hilang dalam dunia Islam Suni.[32] Di kemudian hari, bukan pemikirannya saja yang berpengaruh terhadap dunia Islam tetapi juga pribadinya. Ia digambarkan sebagai khalifah[33] yang adalah “wakil Allah” di bumi.[34]
Sistem kekhalifahan dan ketaatan kepada kalifah menjadi suatu struktur organisasi yang memiliki otoritas yang kuat pada seluruh tingkatan masyarakat. Struktur kekhalifahan Suhrawardi dengan mudah mengakar dan berkembang di anak benua India. Di India, terdapat sejumlah kelompok religius dengan ritus keagamaan sufi dan praktek doa-doa pribadi. Ritus keagamaan sufisme Suhrawardi berkembang menjadi suatu pola hidup yang menarik perhatian masyarakat banyak. Hal ini ditandai dengan praktek-praktek kegiatan religius[35] seperti doa, puasa, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, berjaga-jaga, dzikir, dan merenungkan Allah. Dalam mempraktekkan pola hidup keagamaan seperti itu, mereka mengacu kepada karyanya yang terkenal dan termasyur, yang berjudul “Awarifu’l-Ma’arif”.[36]
Praktek-praktek kesalehan seperti di atas membuat umat Muslim – sebagaimana yang terdapat di anak benua India – terpengaruh akan konsep kehidupan akhirat. Mereka yakin bahwa praktek hidup asketik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kebiasaan-kebiasaan yang muncul adalah mencoba melepaskan diri dari ketertarikan dan khayalan-khayalan jasmani yang menghambat praktek kerohanian. Praktek hidup ini membantu mereka dalam usaha pencarian untuk menemukan kedamaian dan ketenangan di akhirat. Mereka berusaha mempersatukan keinginan hati, akal dan jiwa untuk masuk dalam keheningan bathin sehingga mendapat pencerahan rohani. Mereka yakin bahwa jiwa yang telah dibersihkan dari dosa akan menerima Cahaya Tuhan sehingga dapat mengadakan komunikasi spiritual dengan-Nya. Dengan demikian, manusia setelah jiwanya terlepas dari tubuh akan mendapat kebahagiaan di surga.[37]
[1] Istilah teosofi berasal dari bahasa Yunani Theos artinya Allah, dan sophia artinya kebijaksanaan. Teosof adalah orang yang berusaha mencari dan mengolah kecenderungan-kecenderungan dalam diri manusia dengan tujuan mencapai suatu visi tertentu tentang Allah [lih. Lorens Bagus, “Teosofi”, dalam Kamus Filsafat …, hlm. 1101.]
[2] Tasawuf maksudnya ajaran-ajaran yang berkaitan dengan iman atau dogma agama Islam. Tasawuf juga sering disebut sebagai ajaran mistik yang memberi perhatian lebih ke alam batiniah. Tasawuf baru muncul pada pertengahan abad kedua Hijriah. Perintisnya adalah Ibrahim bin Adham, Rabi’ah al-‘Adawiyah. Ajaran ini muncul karena pengaruh pertemuan antara filsafat mistik neo-platonisme dan Hindu-Buddha [lih. Simuh, “Islam Agama Rasional”, dalam Gatra (Jakarta), 22 Desember 2001, hlm. 34, klm. 3-4.]
[3] Istilah al-Isyraqiyyah dibentuk dari dua kata, yakni: pertama, kata sharq yang berarti matahari terbit. Sedangkan dalam bahasa Arab kata Isyraqi berarti pencahayaan, atau illuminasi; kedua, kata mashriq berarti Timur. Penggunaan kata Isyraqiyyah dalam filsafat illuminasi Suhrawardi ini sangat terkait dengan simbolisme matahari yang terbit di Timur dan menerangi alam semesta [lih. Ahmad Hasan Ridwan, “Filsafat Isyraqiyyah (illuminatif) Suhrawardi Al-Maqtul”, dalam Al-Jami’ah (Yogyakarta) no. 62/XII/1998, hlm. 79.]
[4] Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. xxi.
[5] Mistisisme dalam pandangan Islam dimengerti dengan istilah tasawuf, yang oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Tasawuf atau sufisme merupakan aktivitas spiritual yang bertujuan membangun relasi personal dengan Tuhan. Salah satu syarat utama yang dituntut adalah kesadaran akan komunikasi antara roh manusia dengan Tuhan lewat pengasingan diri dalam hidup kontemplasi [lih. Dr Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 56.]
[6] Peripatetics (Yunani): berjalan keliling; berasal dari cara mengajar dari Aristoteles. Pengikut-pengikut Aristoteles yang ikut mendirikan sekolah filsafat peripatetik berusaha mempopulerkan sekolah itu. Kemudian para penganut peripatetik sebagian besar menjelaskan dan menafsirkan pelajaran Aristoteles. Di kemudian hari, para penggemar sekolah ini berusaha mempertahankan ajaran-ajaran pokok pendiriannya terhadap stoiscisme, tetapi sebagian mengembangkannya dengan metode mereka sendiri [lih. Hassan Shadily et al., “Peripatetics”, dalam Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 848.]
[7] Hossein Ziai (ed.), Suhrawardi …, hlm. 13.
[8] Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A., Filsafat …, hlm. 144.
[9] Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 21.
[10] Pengetahuan intuitif sebagai bentuk pengetahuan yang mampu menghantar seseorang untuk sampai pada “kebijaksanaan”, seperti yang telah dialami oleh beberapa filsuf, misalnya, Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj. Bisa dikatakan bahwa Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj telah sampai pada penyatuan dengan intelek aktif [lih. Hossein Ziai, Suhrawardi …, hlm. 26.]
[11] Hossein Ziai, Suhrawardi …, hlm. 27.
[12] Hossein Ziai, Suhrawardi …, hlm. 28; bdk. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm 24.
[13] Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 26-27.
[14] Ahmad Hasan Ridwan, “Filsafat …”, hlm.81.
[15] Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat…, hlm. 146-147; bdk. Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam (judul asli: A History of Islamic Philosophy), diterjemahkan oleh Drs. R. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 409-410.
[16] Ismus atau barzah merupakan sisi gelap dari Nur al-Aqrab. Bagi Suhrawardi, hubungan antara dunia cahaya dan kegelapan dipisahkan oleh suatu dunia yang disebut barzah. Barzah adalah suatu ungkapan yang mengacu kepada pemisahan antara dunia cahaya dan dunia kegelapan. Istilah barzah tidak memiliki hubungan dengan masalah alam yakni kematian. Barzah sifatnya transparan sehingga bila terkena pantulan cahaya dapat masuk ke dalam terang; dan sebaliknya jika tidak terkena sinar, barzah akan jatuh ke dalam kegelapan mutlak dan menghilang; misalnya: sebuah benda hitam ditempatkan dalam kamar yang gelap. Barzah hanya dapat mengeluarkan cahaya apabila mendapat pancaran cahaya dari obyek yang berasal dari luar dirinya [lih. Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 59.]
[17] Ahmad Hasan Ridwan, “Filsafat …”, hlm. 82; bdk. Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 69; bdk. juga Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A., Filsafat …, hlm. 150-152.
[18] Majid Fakhry, Sejarah …, hlm. 414.
[19] Majid Fakhry, Sejarah …, hlm. 415; bdk. Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A., Filsafat …, hlm. 151-153.
[20] Pandangan Suhrawardi mengenai emanasi dipengaruhi oleh Ibn Sina [lih. Abdul Azis Dahlan (ed), “Ibn Sina”, dalam Ensiklopedi Islam, vol. I …, hlm. 89.]
[21] Algis Uzdavinys, Devine Light in Plotinos and Al-Suhrawardi, http://www.ishkbooks.com./books/MYvT1.html, 19 Maret 2007.
[22] Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A., Filsafat …, hlm. 166.
[23] Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 84-93.
[24] Ahmad Hasan Ridwan, “Filsafat …”, hlm. 85-87.
[25] Sunah berasal dari bahasa Arab as-sunnah yang memiliki beberapa pengertian. Pertama: at-tariqah, yang berarti jalan, cara, metode, baik yang terpuji maupun yang tercela. Kedua: as-sirah, yaitu perikehidupan, perilaku. Ketiga: at-tabi’ah, yaitu tabiat, watak. Keempat: asy-syari’ah, yaitu syariat, peraturan, hukum. Kelima: as-hadis, yaitu perkataan, perbuatan dan takrir Muhammad. Menurut para ahli hadis, sunah adalah segala perkataan, perbuatan, takrir, sifat, keadaan, tabiat, watak dan sirah (perjalanan hidup) Muhammad baik yang berkaitan dengan masalah hukum maupun tidak [lih. Abdul Azis Dahlan (ed), “Sunah”, dalam Ensiklopedi Islam, vol. V …, hlm. 296-297.]
[26] Ijma adalah persetujuan (consensus). Ada beberapa pengertian menurut ilmu Ushul Fiqh, yakni: pertama: kesepakatan para ulama mutjahid atas suatu hukum pada suatu masa tertentu; kedua: kesepakatan para ulama mutjahid setelah wafatnya Muhammad dalam suatu masa dari beberapa masa mengenai suatu masalah atau beberapa masalah (urusan); ketiga: kesepakatan ahlul halli dan aqli dari ummat Muhammad pada suatu masa dari beberapa masa atas suatu hukum yang terjadi dari beberapa kejadian. Kesepakatan yang dimaksud di sini juga termasuk kesepakatan para ulama dalam memahami ayat Al-Qur’an dan Hadits. Kesepakatan dan keputusan para ulama wajib diterima; sedangkan kesepakatan dan keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang bersifat duniawi dan ibadat tidak disebut dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan istilah qiyas berati ukuran atau bandingan. Ilmu Ushul Fikh mengartikan qiyas sebagai dikeluarkannya suatu bentuk hukum yang disebutkan kepada yang tidak disebutkan dengan merangkum keduanya. Artinya, menghasilkan hukum pokok pada cabang karena bersamaan ketentuannya pada illat (yang menyebabkan adanya hukum) pada sisi kaum Mudjahid [lih. Dr. Mochtar Effendy, S.E, “Qiyas” dalam Ensiklopedi Agama …, hlm. 42, 408.]
[27] Bertitik tolak dari sifat keesaan Allah, fakta historis membuktikan bahwa perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam Suni pernah mengalami hambatan. Hal ini dilatarbelakangi oleh kritikan Al-Gazali terhadap filsafat dalam karyanya Tahafut al-Falasifah. Sikap Al-Gazali ini menimbulkan konsep negatif dan menumbuhkan sikap apriori terhadap kajian filsafat. Konsekuensi logis yang timbul dalam diri generasi berikutnya ialah bahwa mempelajari filsafat merupakan suatu usaha yang sia-sia. Akibatnya, perkembangan ilmu filsafat dalam dunia Islam Suni menjadi terhambat, bahkan berada pada ambang kehancuran [lih. Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 84-86.]
[28] Bdk. Abdul Azis Dahlan (ed), “Suni”, dalam Ensiklopedi Islam, vol. IV …, hlm. 298-301.
[29] Syi’ah dari segi bahasa berarti pengikut, kelompok, atau golongan. Syi’ah merupakan suatu kelompok minoritas dalam Islam. Kaum Syi’ah berpendirian bahwa yang seharusnya berkuasa setelah Muhammad wafat adalah Ali bin Abi Thalib. Ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai sejarah lahirnya Islam Syi’ah. Sebagian ahli mengatakan bahwa Syi’ah lahir langsung setelah Muhammad wafat, yakni pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirah dan Ansar di balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Namun pendapat yang populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan khalifah Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin [lih. Abdul Azis Dahlan (ed), “Syi’ah”, dalam Ensiklopedi Islam, vol. V …, hlm. 5-6.]
[30] Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 87-93.
[31] Aliran peripatetik bersumber pada metode silogisme Aristoteles, yang berusaha mencapai kebenaran dengan nalar; sedangkan aliran iluminasi menggabungkan doktrin emanasi Plato, mistik Persia kuno dan Islam yang memandang intuisi intelektual sebagai sarana untuk mencapai kebenaran [lih. Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 86.]
[32] Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 87.
[33] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah khalifah diartikan sebagai: pertama: wakil (pengganti) Muhammad setelah wafat dalam urusan negara dan agama yang melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan negara; kedua: sebagai gelar kepada pemimpin agama dan raja dalam negara Islam. Sedangkan dalam Ensiklopedi Agama dan Filsafat diberi penjelasan demikian: Khalifah dalam bahasa Arab berarti pengganti atau wakil. Istilah khalifah juga ditemukan di dalam Al-Qur’an. Di sana dikatakan: “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah- khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka” (surat Fatir, 35, 39). Teks ini hendak menegaskan bahwa Allah memberikan kedudukan kepada manusia sebagai khalifah-Nya di dunia. Manusia adalah makhluk yang mulia dan paling sempurna. Oleh karena itu, ia mengemban amanat Allah dan menjadi wakil Allah di muka bumi untuk mengurus dan mengelola bumi serta isinya sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya [lih. Mochtar Effendy, (ed.), “Khalifah” dalam Ensiklopedi Agama dan Filsafat, vol. I …, hlm. 175.]
[34] Qamar-ul Huda, “Striving for …”, hlm. 612.
[35] Dalam dunia dewasa ini, ritus keagamaan sufisme Suhrawardi bisa dibandingkan dengan praktek-praktek kesalehan umat Muslim di bulan Ramadhan (istilah Ramadhan dalam bahasa Arab disebut ramadan, [bentuk jamaknya: ramadanat atau ramida], yang berarti bulan kesembilan dari tahun Hijriah. Menurut pengertian bahasa, istilah ramadan berarti amat panas. Pengertian ini diberikan oleh orang-orang Arab pada bulan kesembilan karena pada bulan tersebut cuaca di daerah padang pasir terasa sangat panas oleh terik matahari). Dalam tradisi Islam, bulan Ramadhan memiliki makna istimewa dan kedudukan yang mulia. Keistimewaan dan kemuliaan tersebut, antara lain: pertama: diturunkannya Al-Qur’an (Nuzulul Qur’an); kedua: satu-satunya nama bulan yang terdapat dalam Al-Qur’an yakni surat al-Baqara, 2: 185; ketiga: kemenangan besar yang diperoleh Rasullulah SAW bersama kaum Muslimin dalam perang Badr al-Kubra (besar) yang membangkitkan semangat juang umat Islam untuk maju; keempat: Allah melimpahkan pahala yang sangat tinggi kepada orang yang melakukan ibadah dan amal kasih; kelima: dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka; keenam: pengampunan dosa bagi orang yang berpuasa dengan penghayatan yang mendalam [lih. Abdul Aziz Dahlan (ed), “Ramadhan”, dalam Ensiklopedi Islam vol. IV …, hlm. 154.]
[36] Qamar-ul Huda, “Striving for …”, hlm. 612-613.
[37] Qamar-ul Huda, “Striving for …”, hlm. 613.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar