20080407

Kontekstualisasi menurut David J. Bosch

oleh Benyamin R. Fuel

MISI SEBAGAI KONTEKSTUALISASI MENURUT DAVID J. BOSCH





1. Pengantar


Dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes) nomor 6, misi diartikan sebagai usaha-usaha Gereja untuk pergi ke seluruh dunia untuk melaksanakan tugas mewartakan Injil dan menanamkan Gereja di antara para bangsa dan kelompok yang belum percaya kepada Kristus. Sasaran misi di sini adalah bangsa-bangsa dan kelompok di mana Gereja belum berakar kuat.

Misi pada tempat pertama dan utama adalah karya Allah. Kegiatan misioner tidak lain dan tidak kurang dari penampakkan rencana Allah atau “epiphania” serta pelaksanaanya di dunia dan dalam sejarahnya, saatnya Allah melalui perutusan, secara terbuka menyempurnakan sejarah keselamatan (AG no. 9). Gagasan ini menyatakan bahwa misi pada dasarnya milik Allah, dan bahwa Gereja turut ambil bagian di dalam misi Allah itu. Ini berarti Gereja tidak memiliki misi, tetapi ia pada hakikatnya bersifat misioner (bdk. AG no. 2.).

Pada bab III ini secara khusus akan dibahas gagasan David J. Bosch perihal misi sebagai “kontekstualisasi”. Pembahasan pada bab III ini terdiri dari dua bagian yaitu misi menurut David J. Bosch dan misi sebagai “kontekstualisasi” menurut David J. Bosch. Nama David J. Bosch dalam pembahasan pada bab III ini akan disingkat menjadi Bosch.

2. Misi
2.1 Pengertian Misi
2.1.1 Pengertian Secara Umum



Istilah “misi” berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata benda missio, artinya “pengutusan”. Bentuk tunggal dalam bahasa Inggris, mission, berarti tugas yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang percaya untuk bersaksi tentang Kristus dalam perkataan dan perbuatan.[1] Missio secara ringkas berarti “perutusan”, dapat dijabarkan sebagai suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan suatu tugas atau perutusan yang diberikan kepadanya.[2] Sedangkan bentuk jamak missions, dalam pengertian tradisional berarti usaha Gereja untuk penginjilan dunia.[3] Bosch juga membedakan pengertian kata “misi” dalam bentuk tunggal dan kata “misi” dalam bentuk jamak.

Kata “misi” (bentuk tunggal) mengacu pada Missio Dei (misi Allah), artinya, penyataan diri Allah sebagai Dia yang mengasihi dunia, keterlibatan Allah di dalam dan dengan dunia, sifat dan kegiatan Allah, yang merangkul Gereja dan dunia serta di mana Gereja mendapatkan kesempatan istimewa untuk ikut serta. Missio Dei memberitakan kabar baik bahwa Allah adalah Allah-untuk-manusia. Sedangkan kata “misi” dalam bentuk jamak, mengacu pada bentuk-bentuk khusus, yang berhubungan dengan waktu, tempat, atau kebutuhan tertentu dari partisipasi di dalam Missio Dei.[4]


Bosch membuat perbedaan itu agar misi tidak diartikan dalam pengertian yang sempit. Bosch sendiri membuat tiga belas definisi misi yang disebutnya sebagai definisi sementara.



2.1.2 Menurut David J. Bosch




Bosch tidak memberikan secara khusus dengan penekanan pada satu definisi misi dari tiga belas definisi misi yang diungkapkannya. Ia justru menulis bahwa pengertian tentang misi sangat luas.

Saya memahami bahwa misi lebih luas dari pada penginjilan”. “Evangelisasi adalah misi, tetapi misi tidaklah sekadar evangelisasi” (Moltmann 1977:10; bnd. Geffre 1982:478 dyb.). Misi berarti keseluruhan tugas yang telah Allah berikan kepada Gereja demi keselamatan dunia […] Misi “mencakup semua kegiatan yang menolong membebaskan manusia dari perbudakannya di hadapan Allah yang sedang datang, perbudakan yang meluas dari kebutuhan ekonomi sampai keberadaan tanpa Allah” (Moltmann 1977:10). Misi adalah Gereja yang diutus ke dalam dunia, untuk mengasihi, melayani, memberitakan, mengajar, menyembuhkan, dan membebaskan.[5]



Misi dipahami sebagai sesuatu yang terus berubah dari waktu ke waktu, dan inilah karakter dari paradigma.[6] Bosch mendefinisikan misi sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari menapis, menguji, merumuskan ulang dan membuang. Keseluruhan terminologi misi mengandaikan pengutusan oleh orang yang berkompeten kepada seseorang untuk melaksanakan suatu tugas tertentu. Bosch mengungkapkanya demikian:


Istilah “misi” (atau zending) mempradugakan pengutus, seseorang atau orang-orang yang diutus oleh si pengutus, orang-orang yang kepadanya seseorang diutus, dan sebuah tugas. Dengan demikian keseluruhan terminologi ini mempradugakan bahwa orang yang mengirim mempunyai kuasa untuk melakukan hal tersebut. Seringkali diperdebatkan bahwa pengutus yang sesungguhnya adalah Allah yang mempunyai kuasa yang pasti untuk menetapkan bahwa orang-orang diutus untuk melaksanakan kehendaknya[7]



Misi dalam transformasi berarti bahwa misi itu harus dipahami sebagai suatu kegiatan yang mentransformasikan realitas dan bahwa ada suatu kebutuhan yang terus-menerus bagi misi itu untuk ditransformasikan. Tetapi sebagai pegangan dalam mengulas misi sebagai “kontekstualisasi”, penulis berpegang pada definisi misi yang kesebelas dari tiga belas definisi misi yang ditawarkan oleh Bosch, yaitu misi mencakup penginjilan. Penginjilan adalah pemberitaan keselamatan di dalam Kristus kepada mereka yang tidak percaya kepada-Nya. Memanggil mereka untuk bertobat, memberitakan pengampunan dosa dan mengundang mereka untuk menjadi anggota-anggota yang hidup dari komunitas Kristus di bumi.[8] Sebagai pegangan lainnya harus juga dilihat bahwa misi bukanlah pertama-tama aktivitas Gereja, melainkan suatu ciri Allah yang misioner. Misi merupakan gerakan dari Allah kepada dunia. Gereja dipandang sebagai sebuah alat untuk misi tersebut. Gereja ada karena misi dan bukan sebaliknya (Aagaard 1974:423).[9] Ikut serta di dalam misi berarti ikut serta di dalam gerakan kasih Allah kepada manusia karena Allah adalah sumber dari kasih yang mengutus. Kegiatan-kegiatan misioner Gereja hanyalah otentik sejauh kegiatan-kegiatan itu mencerminkan partisipasi di dalam misi Allah.[10]


2.2 Krisis dalam Pemahaman Misi


Sejak tahun 1950-an telah terjadi peningkatan dalam penggunaan kata “misi” (atau zending) di antara orang Kristen. “Misi” telah mempunyai serangkaian makna yang cukup terbatas.[11] Kata “misi” menunjuk pada: pengiriman misionaris ke daerah tertentu, kegiatan yang dilaksanakan misionaris, wilayah geografis di mana misionaris itu bekerja, lembaga yang mengutus misionaris, dunia non-Kristen atau “lapangan misi”, pusat yang dari padanya para misionaris itu bekerja di “lapangan misi”.[12] Menurut Bosch Konotasi yang ditekankan pada kata ”misi” ini masih agak baru. Sampai abad ke-16 istilah itu secara eksklusif mengacu pada doktrin (ajaran) Tritunggal: pengutusan Anak oleh Bapa dan pengutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Anak.

Selanjutnya Bosch menyatakan bahwa konotasi yang diberikan pada kata “misi” tersebut tidak begitu jelas lagi saat ini. Para ahli dalam semua disiplin mereka (termasuk teologi) disibukkan dengan studi atas pertanyaan-pertanyaan di luar disiplin mereka. Keadaan ini mengindikasikan kehadiran krisis yang besar. Krisis itu sendiri mempunyai dua dimensi yaitu menunjukkan adanya sesuatu yang berbahaya dan juga menunjukkan adanya suatu kesempatan untuk terjadinya perubahan. Krisis itu terjadi karena munculnya suatu era baru setelah berakhirnya dominasi politik Barat yang berjalan seiring dengan dominasi misi Kristen Barat ke Dunia Ketiga. [13]

Krisis yang lebih luas menurut Bosch bukan hanya menyangkut misi, tetapi mempengaruhi seluruh Gereja. Lebih lanjut Bosch menulis bahwa terdapat beberapa faktor yang mendorong terjadinya krisis dalam misi Gereja:

1) Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi menyuburkan sekularisme yang meragukan peranan Tuhan dalam menjawab banyak masalah pada zaman modern ini.
2) Berkaitan dengan pokok di atas, terjadi apa yang disebut “dekristenisasi” di Barat yang meliputi hidup Gereja dan misi. Misalnya Perancis menjadi target misi lagi sebab negara itu diwarnai oleh ateisme[14], sekularisme dan takhyul. Di Eropa dan Amerika Utara setiap minggu kira-kira 53.000 orang meniggalkan Gereja.[15]
3) Barat bukan lagi ‘negara-negara Kristen’ tetapi multi-agama. Situasi ini mendorong orang Kristen di sana menguji ulang ketahanan iman mereka dan pada saat bersamaan sikap misioner penganut agama lain lebih aktif dan agresif dari pada orang-orang Kristen sendiri. Setelah sekian lama masyarakat dan Gereja Barat hidup dalam kekristenan, sekarang mereka menghadapi kenyataan baru dan bergaul dengan orang-orang beragama lain dalam jumlah yang makin berkembang yang meliputi imigran dan orang Kristen Barat yang bersikap apatis terhadap kekristenan dan tertarik pada agama lain.
4) Kesenjangan sosial-ekonomi yang terjadi antara orang-orang dan negara-negara kaya ( kebanyakan Kristen) dengan orang-orang dan negara-negara miskin (kebanyakan non-Kristen) yang menimbulkan frustasi, kemarahan, ketegangan dan melahirkan suatu keengganan untuk menerima orang-orang Kristen. Keadaan seperti ini membuat Gereja dan misinya tidak dapat berjalan terus seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Gereja mesti mengambil sikap terhadap keadaan itu. Jika Gereja tidak mengambil sikap berarti Gereja mendukung kesenjangan yang terjadi itu.
5) Teologi Barat tidak lagi mendominasi pemikiran teologis di dunia dengan munculnya pemikiran teologis baru dan kontekstual dari Dunia Ketiga seperti Teologi Pembebasan, Teologi Hitam, Teologi Kontekstual, Teologi Minjung, Teologi Afrika dan Teologi Asia. Pemikiran teologis baru ini mempertanyakan keabsahan konsep misi Barat yang selama ini begitu dominan.
6) Situasi di negara-negara yang dulu sering disebut ‘wilayah misi’ sudah berubah. Teologi Barat, cara-cara dan praktek menggereja Barat tidak lagi menjadi norma termasuk dalam bidang misi. Di satu pihak, Teologi Barat dianggap tidak relevan dan spekulatif terhadap dunia non-Barat.

2.3 Pergeseran Paradigma Misi

Kata “misi” dalam penggunaanya sering dipertukarkan dengan frase “pekabaran Injil” untuk maksud tertentu. Tetapi pada umumnya diterima bahwa “pekabaran Injil” merupakan salah satu unsur yang menyatu di dalam “misi”. Misalnya salah satu dari tiga belas definisi misi yang ditawarkan oleh Bosch yaitu misi mencakup penginjilan sebagai salah satu dimensinya yang esensial.[16] Kenyataan bahwa “misi” dalam sejarah penggunaanya mengalami pergeseran pengertian dan makna, diungkapkan Bosch demikian:

Karena itu, kita tidak pernah menyombongkan diri sendiri bahwa kita dapat menggambarkan misi dengan tajam dan dengan penuh percaya diri. Pada akhirnya, misi tetap tidak dapat didefinisikan; misi sekali-kali tidak boleh dipenjarakan dalam batas-batas yang sempit dari prasangka-prasangka kita sendiri. Paling-paling yang dapat kita harapkan adalah merumuskan beberapa pengertian tentang apa misi itu sebenarnya”. Kita tidak dapat dengan integritas, merenungkan apa arti misi di masa kini kecuali bila kita berpaling kepada Yesus dari Perjanjian Baru karena misi kita “berakar pada pribadi dan pelayanan Yesus”. Sebuah dasar teologis untuk misi hanya dimungkinkan dengan acuan pada titik tolak iman kita: penyataan diri Allah di dalam Kristus sebagai dasar yang secara logis mendahului dan yang asasi bagi setiap refleksi lainnya”. Misi merupakan pelayanan Gereja, yang dimungkinkan oleh kedatangan Kristus dan menyingsingnya peristiwa keselamatan yang eskatologis […] Gereja, di dalam keyakinan dan pengharapan, berjalan untuk menemukan masa depan dari Tuhannya, dengan tugas mempersaksikan kepada seluruh dunia kasih Allah dan perbuatan-Nya yang menebus.[17]

Teologi misi sangat mempengaruhi pemahaman tentang misi. Di balik pemahaman misi selalu terdapat suatu paradigma yang mempengaruhi bagaimana misi dipahami dan dilaksanakan oleh Gereja dalam kurun waktu tertentu. Paradigma yang mempengaruhi dan menentukan misi itu disebut paradigma misi. Istilah paradigma merupakan konsep yang dinamis. Hans Kung[18] dan para penganjur teori paradigma dalam teologi sering mengutip pandangan-pandangan Thomas Khun. Thomas Khun adalah seorang ahli ilmu fisika dan sejarawan ilmu pengetahuan asal Amerika. Teori paradigmanya banyak menjadi acuan dalam pembicaraa-pembicaraan mengenai paradigma, baik dalam ilmu-ilmu ilmiah maupun teologi.[19] Tetapi Thomas Khun sendiri membatasi teori paradigmanya pada ilmu-ilmu yang bersifat ilmiah sehingga Bosch memperingatkan untuk berhati-hati dalam menerapkan gagasan Thomas Khun itu dalam berbicara tentang paradigma dalam teologi. Bosch mengungkapkannya demikian:

Saya menyadari kenyataan bahwa Khun sendiri membatasi teori-teorinya pada ilmu-ilmu alamiah (yang disebutnya “ilmu-ilmu matang”) dan secara eksplisit menolak acuan pada ilmu-ilmu sosial (dalam pandangannya “ilmu-ilmu pendahuluan”). Saya juga menyadari kritik yang luas terhadap posisinya, dari para ilmuan alamiah maupun sosial (untuk ringkasan mengenai kritik-kritik terhadap pandangan-pandangannya, bnd. Bernstein 1985:88-93). Kedua faktor ini saja seharusnya cukup untuk membuat orang berhati-hati tentang kemungkinan menerapkan gagasannya yang manapun terhadap teologi. Kalaupun saya memanggil Khun dalam konteks ini, saya melakukannya karena perannya sebagai katalis yang telah dimainkannya pada tahun-tahun yang belakangan dalam teori penelitian ilmiah, dan saya menggunakan pandangan-pandangannya hanya semacam hipotesis kerja.[20]

Bosch, dengan mengikuti pembagian era yang dibuat oleh Hans Kung, menunjukkan enam paradigma utama yang bergeser dalam sejarah Gereja, mulai dari paradigma misi apokaliptik dari Gereja Perdana, disusul dengan paradigma misi Gereja Patristik dan Ortodoks Timur, kemudian paradigma misi Katolik Roma Abad-abad pertengahan, lalu paradigma misi reformasi Protestan dan paradigma misi era pencerahan serta paradigma misi Ekumenis. Terhadap argumen Hans Kung bahwa setiap periode mengungkapkan pemahaman yang khusus tentang iman Kristen, Bosch menambahkan bahwa masing-masing juga menawarkan suatu pemahaman yang khas tentang misi Kristen.[21] Pada setiap era orang Kristen memahami dan mengalami iman mereka berbeda dengan pemahaman dan pengalaman orang-orang percaya dari era-era yang lainnya. Perbedaan itu terjadi karena orang Kristen menghayati paradigma yang mereka anggap sesuai pada masanya. Sehingga setiap era memiliki konteks masing-masing dan klaim bahwa pemahaman iman dan misi Gereja saat itu tidak bertentangan dengan kehendak Allah.[22]

Pergeseran paradigma terjadi karena suatu krisis dalam teologi dan kehidupan Gereja. Krisis itu cukup berpengaruh terhadap misi Gereja. Bosch mengungkapkanya demikian:


Suatu masa perubahan paradigma, pada hakikatnya, adalah suatu masa krisis - dan krisis, kita ingatkan diri kita adalah titik di mana bahaya dan kesempatan bertemu (Koyama). Ini adalah masa ketika beberapa “jawaban” memaksakan dirinya kepada kita ketika banyak suara berseru meminta perhatian kita. Tesis studi ini ialah bahwa, dalam bidang agama, sebuah pergeseran paradigma selalu berarti kesinambungan dan perubahan. Kesetiaan pada masa lampau dan keberanian untuk melibatkan masa depan, kesinambungan dan kemungkinan, tradisi dan transformasi. Hal ini telah berlaku bagi masing-masing dari kelima perubahan paradigma yang ditelusuri sejauh ini: masing-masing bersifat evolusioner dan juga revolusioner.[23]



Jadi pergeseran paradigma dalam teologi menunjuk pada model penafsiran dalam teologi, seperti halnya dari model penafsiran yang tradisional bergeser kepada model penafsiran yang modern. Munculnya suatu paradigma misi sangat ditentukan oleh perubahan dan pergeseran paradigma dalam teologi.[24]









2.4 Paradigma Misi Ekumenis




Paradigma misi ekumenis adalah paradigma yang dominan saat ini. Paradigma misi ekumenis yang dimaksudkan Bosch adalah paradigma yang akan muncul setelah zaman modern. Bosch menyamakan kata ‘modern’ dengan ‘pencerahan’, maka yang dimaksudkannya dengan zaman modern adalah zaman Pencerahan.[25] Bosch menamakan paradigma yang akan muncul setelah zaman modern itu sebagai paradigma pasca-modern.[26] Berkaitan dengan istilah baru itu, Bosch menambahkan bahwa kata depan ‘pasca’ pada istilah pasca-modern sama sekali tidak menunjukkan suatu ukuran nilai. Istilah pasca-modern merupakan sebuah konsep “pencarian”.[27] Menurut Bosch kata ‘pasca’ berarti menoleh ke belakang dan pada saat yang sama juga ke depan menuju suatu paradigma baru yang sedang muncul. Namun pada akhirnya Bosch menggunakan istilah ‘pasca-modern’ itu dengan pemahaman ekumenis. Istilah ekumenis yang berkarakter ‘menuju ke kesatuan’ diungkapkan Bosch dengan menyatakan bahwa semua zaman lain dan bahkan zaman Pencerahan itu sendiri tergolong pada masa lalu, karenanya dalam pengertian tertentu kita dapat menoleh ke belakang kepada mereka.[28]



3. Gereja dan Misi

Gereja tidak dapat dipisahkan dari misi dalam kehadirannya dan misi tidak dapat dipisahkan dari Gereja dalam implementasinya, atau dengan kata lain Gereja merupakan “tempat” misi mengekspresikan dirinya. Gereja barulah menjadi Gereja yang sebenarnya bila Gereja itu melaksanakan misi Allah (missio Dei) di tengah-tengah dunia.[29] Keprihatinan dan keterlibatan Gereja dalam misi Allah di tengah-tengah dunia berlandaskan pada kehendak Kristus untuk menyelamatkan semua orang. Maka gerak yang dilakukan Gereja sekarang ini sebenarnya bukan hanya didasarkan pada dimensi keteladanan kepada Kristus, tetapi keterlibatan Gereja justru timbul dari kesadaran Gereja akan perlunya keselamatan bagi semua orang.[30] Gereja diutus oleh Kristus, dan dalam terang Roh Kudus ia relevan bagi dunia. Dekrit Ad Gentes menggambarkannya demikian:

Perutusan itu terus berlangsung, dan di sepanjang sejarah menjabarkan perutusan Kristus sendiri, yang diutus untuk mewartakan Kabar Gembira kepada kaum miskin. Atas dorongan Roh Kristus, Gereja harus menempuh jalan kemiskinan, ketaatan, pengabdian dan pengorbanan diri sampai mati, dan dari kematian itu muncullah Ia melalui kebangkitan-Nya sebagai pemenang” (AG no. 5 ).



Demikian misi yang berorientasi pada aktivitas pewartaan Injil lekat dengan realisasi panggilan Gereja. “Misi” dalam sepanjang sejarah penggunaanya mengalami pergeseran pengertian dan makna. Pergeseran pengertian misi itu berpengaruh terhadap cara pelaksanaan tugas pewartaan Injil oleh Gereja. Dengan kata lain aktivitas pewartaan oleh Gereja sangat dipengaruhi oleh pengertian kata “misi” itu sendiri.[31]

Gereja dan misi saling terkait dan mempengaruhi. Gereja tanpa misi adalah institusi yang mati dan misi tanpa Gereja adalah tidak mungkin. Misi merupakan dimensi Gereja yang esensial ( LG no. 17; AG no. 2) karena melalui karya misi Gereja hadir dengan sepenuhnya sebagai Gereja.[32] Model alkitabiah dibalik keyakinan bahwa Gereja pada hakikatnya bersifat misioner (AG no. 9) adalah yang ditemukan dalam 1 Ptr 2: 9. Di sini Gereja bukanlah yang mengutus melainkan yang diutus. Itu berarti Gereja dan misi saling terkait sejak semula.[33] Kegiatan misioner bukanlah terutama karya Gereja melainkan sebagai Gereja yang berkarya. Ini adalah tugas yang berkaitan dengan seluruh Gereja (AG. no. 23).

Misi Gereja adalah mewartakan apa yang sudah didengarnya, diimaninya dan yang sudah diserahkan kepadanya untuk diwartakan.[34] Gereja dilihat sebagai pewarta yang menerima satu kabar suci dan mempunyai tugas untuk mewartakannya. Dalam pembukaan Konstitusi Dogmatik Tentang Gereja (Lumen Gentium) dikatakan bahwa “Kristus adalah terang bangsa-bangsa”.[35] Karena itu perutusan Gereja adalah menerangi semua orang dengan cahaya Kristus yang bersinar pada wajah Gereja dengan mewartakan Injil kepada segala makhluk (bdk. Mat 16: 15).

4. Misi sebagai “Kontekstualisasi”

Misi selalu dihadapkan pada situasi manusia yang tidak terlepas dari sejarahnya. Ia berkembang di dalam sejarah manusia. Sejarah merupakan ruang lingkup karya misi itu sendiri.

Misi sebagai “kontekstualisasi” menjadikan konteks sebagai titik berangkatnya. Dan dunia membangun konteks di mana misi dikembangkan. Konteks mempunyai peran yang menentukan dalam pemahaman mengenai pengertian misi. Sebab misi harus dihadirkan dalam konteks, sehingga antara konteks dengan misi saling mempengaruhi, jika tidak demikian maka misi akan menjadi pengertian yang abstrak.[36] Konteks di sini tidak hanya sekedar sebagai “keadaan/situasi” yang menggambarkan sesuatu. Akan tetapi konteks dalam arti yang turut mempengaruhi di mana misi itu ada dan berkembang.

Teologi kontekstual juga memperhatikan konteks, bahkan dipengaruhi oleh konteks. Teologi kontekstual adalah teologi “dari bawah” oleh umat Allah yang terlibat dalam aksi dan refleksi[37]. Misi sebagai “kontekstualisasi” bertujuan terutama membawa Injil sebagai Kabar Baik yang sesungguhnya bagi manusia dalam situasi-situasi konkretnya.
4.1 Penegasan bahwa Allah telah Berpaling ke Dunia

Misi dipandang sebagai tindakan “Allah berpaling ke dunia”.[38] Dunia merupakan panggung aktivitas Allah. Ia adalah konteks yang membentuk pemahaman tentang misi. Yesus juga di dalam tugas perutusan-Nya tidak membubung tinggi ke langit, tetapi menenggelamkan diri-Nya ke dalam keadaan-keadaan yang nyata (real) dari orang-orang miskin, mereka yang tertawan, yang buta dan dari mereka yang tertindas (Luk 4:18). Gereja dan dunia tidak boleh dilihat sebagai terpisah. Kita harus memikirkan dunia yang ke dalamnya Gereja diutus. Misi Gereja mesti ‘berkubang’ dengan situasi dunia yang historis.[39] Menurut Bosch selama berabad-abad telah berlaku pandangan yang menyatakan bahwa dunia di luar Gereja dipandang sebagai kekuatan yang memusuhi. Tulisan-tulisan teologis dari abad-abad yang lalu didapati kesan bahwa yang ada hanyalah Gereja sedangkan dunia tidak ada, di luar Gereja yang ada hanyalah “Gereja yang palsu”. Di sini Gereja menjadi seakan-akan sebuah dunia tersendiri.[40]

Konsili Vatikan II juga menekankan hubungan yang akrab antara Gereja dengan dunia. Konstitusi Pastoral tentang tugas Gereja dalam dunia dewasa ini Gaudium et Spes (GS) dalam kalimat pembukaannya mengakui suatu hubungan yang akrab antara Gereja dan dunia umat manusia.


Sukacita dan pengharapan, dukacita dan penderitaan umat manusia masa kita ini, khususnya mereka yang miskin atau terluka dalam cara apapun, adalah sukacita dan pengharapan, dukacita dan penderitaan semua pengikut Kristus pula […] sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.[41]


Selanjutnya pada nomor 26 dari dokumen yang sama dinyatakan bahwa Gereja dalam kegiatan misionernya, menjumpai umat manusia dan sebuah dunia di mana keselamatan Allah sudah bekerja secara rahasia melalui Roh.

Dalam terang Roh Kudus, kini Gereja ingin tetap relevan bagi dunia agar ia bukan hanya sebagai monumen yang mati, tetapi tanggap terhadap kebutuhan zamannya yang konkret. Dekrit Ad Gentes (AG) nomor 5 menegaskan hal senada.

Perutusan itu terus berlangsung, dan di sepanjang sejarah menjabarkan perutusan Kristus sendiri yang diutus untuk mewartakan Kabar Gembira kepada kaum miskin. Atas dorongan Roh Kristus, Gereja harus menempuh jalan kemiskinan, ketaatan, pengabdian dan pengorbanan diri sampai mati, dan dari kematian itu muncullah Ia melalui kebangkitan-Nya sebagai Pemenang. Dengan mengalami banyak kemalangan dan duka derita, mereka menggenapi apa yang masih kurang pada penderitaan Kristus bagi tubuh-Nya yakni Gereja.



Yesus telah datang untuk mewartakan Kerajaan Allah sebagai daya hidup. Gereja berada di dunia untuk membawa daya hidup dari Kristus itu kepada dunia. Suatu dualitas antara Allah dengan dunia tetap ada.[42] Allah berkarya bagi dunia mulai dengan “mata air kasih” Allah Bapa yang bermuara pada perutusan Putra dan Roh ke tengah dunia. Roh yang berbicara melalui para nabi menyiapkan jalan bagi Firman yang menjadi manusia dalam diri Yesus dari Nazaret. Ia terlibat dalam dunia dengan segala permasalahanya. Dalam misteri paska-Nya, Yesus membebaskan dunia dari dosa agar dunia bisa dibawa masuk ke dalam kasih abadi Allah. Menurut Bosch, iman Kristen sejak kelahirannya berusaha bagaimana menjadi relevan dan terlibat di dalam dunia. Pada pihak lain berusaha mempertahankan identitasnya di dalam Kristus.[43] Orang Kristen menemukan identitas mereka pada salib Kristus.

4.1.1 Allah yang Berkarya

Misi pertama-tama harus dipahami sebagai aktivitas Allah sendiri. Misi bukan terutama aktivitas Gereja, melainkan suatu ciri Allah. Gereja berpartisipasi dalam karya Allah itu di dunia ini. Maka misi dipandang sebagai sebuah gerakan dari Allah kepada dunia.[44] “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengutus Anak-Nya yang tunggal …” (Yoh 11: 52).

Dekrit Ad Gentes nomor 9 menegaskan bahwa misi pertama-tama dan terutama adalah karya Allah. Gagasan ini tersirat dalam istilah “Rencana Allah”. Kegiatan misioner merupakan penampakkan rencana Allah, saatnya Allah melalui perutusan secara terbuka menyempurnakan sejarah keselamatan.[45] Jelaslah bahwa gagasan ini juga mendukung gagasan pertama tadi bahwa misi terutama adalah kepunyaan Allah. Gereja hanya turut ambil bagian di dalam misi Allah itu. Konsekuensinya, apabila misi terutama merupakan karya Allah, maka ia berdampak atas cara bagaimana Gereja memikirkan dirinya sendiri. Karena Gereja tidak memiliki misi tetapi Gereja pada hakikatnya bersifat misioner, karena tugasnya berasal dari perutusan Yesus Kristus yang diutus oleh Bapa sumber segala misi. Menurut Bosch misi kita (Kristen) juga tidak mempunyai kehidupannya sendiri, di dalam tangan Allah yang mengutuslah misi dapat benar-benar disebut misi.[46]

Gereja baru akan dikatakan menjadi Gereja apabila turut ambil bagian dalam rencana keselamatan Allah itu. Di sini misi bukan perihal perluasan diri Gereja. Tetapi Gereja sebagai sakramen bagi dunia berupaya menggenapkan rencana Allah untuk mempersatukan dan memperdamaikan semua bangsa di dalam Kristus. Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium nomor 9 menyatakan bahwa Gereja sebagai sakramen yang kelihatan, menandakan kesatuan yang menyelamatkan. Selanjutnya pada nomor 48 ditegaskan kembali “… dan bahkan sakramen keselamatan yang universal”.

Bagaimanapun juga misi pada akhirnya terarah bagi hidup manusia. Yesus Kristus datang agar kita mempunyai hidup dan mempunyainya dalam kelimpahan (Yoh 10: 10). Ia akan diam bersama dengan mereka dan mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka (Why 21: 3).




4.1.2 Allah Terutama Berkarya Bagi Kaum Miskin

Bosch berpendapat bahwa teologi kontekstual adalah “teologi dari bawah”. Pembicaranya yang utama adalah orang-orang miskin. Bosch mendefinisikan orang-orang miskin demikian:

Menjadi miskin adalah suatu realitas material yang sangat jelas. Namun kita tidak boleh berpikir tentang kaum miskin dalam kategori-kategori sosial ekonomi belaka […] Kaum miskin adalah mereka yang dimarginalkan, mereka yang tidak mempunyai sikap partisipasi aktif atau bahkan juga pasif dalam masyarakat: ini adalah marginalitas yang mencakup semua bidang kehidupan dan sering kali begitu luasnya sehingga orang-orang merasa bahwa mereka tidak mempunyai sumber-sumber untuk melakukan apapun dengan hal itu.[47]


Sekali lagi bahwa Yesus juga dalam perutusan-Nya menenggelamkan diri-Nya ke dalam realitas orang-orang miskin, tertawan, buta dan yang tertindas. Orang miskin mempunyai tempat yang khusus dalam pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah, bahkan dikatakan bahwa kepada mereka Kerajaan Allah diwartakan (Luk. 4: 18). Mereka memiliki Kerajaan Allah (Luk. 6: 20). Orang miskin yang memiliki Kerajaan Allah ialah orang yang dalam segala bentuk kemalangan lahiriah dan batiniah takut dan berpegang teguh pada Sabda Allah (Yes. 66: 2; Mzm. 22: 24). Karena itu mereka yakin bahwa Allah akan membela dan memberi keadilan (Mzm. 140: 13). Bosch berpendapat bahwa Kristus tetap hadir di mana terdapat mereka yang lapar dan sakit, yang dihisap dan disisihkan. Kuasa kebangkitan-Nya mendorong sejarah umat manusia menuju akhir di bawah panji-panji “Lihatlah, Aku menjadikan semuanya baru!” (Why 21: 5). Kenyataan ini membuat kita harus mengambil sikap yang tegas menentang setiap usaha untuk mendekati misi dengan cara yang kurang kontekstual.

Yesus Kristus diutus terutama kepada mereka yang dilupakan dan disingkirkan. Gereja dalam hal ini dituntut menunjukkan keteladanannya terhadap perutusan Kristus itu. Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium (LG) nomor 8 menegaskan bagaimana Gereja bersikap pada kaum miskin, lemah dan menderita.


Seperti Kristus melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu pula Gereja dipanggil untuk menempuh jalan yang sama, supaya menyalurkan buah-buah keselamatan kepada manusia. Kristus Yesus, “walaupun dalam rupa Allah […] telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba”. Dan demi kita Ia “menjadi miskin, meskipun Ia kaya”. Demikianlah Gereja, kendati memerlukan upaya-upaya manusiawi untuk menunaikan perutusan-Nya, didirikan bukan untuk mengejar kemuliaan duniawi, melainkan untuk menyebarluaskan kerendahan hati dan pengingkaran diri juga melalui teladannya. Kristus diutus oleh Bapa untuk “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin […] untuk menyembuhkan mereka yang putus asa” untuk “mencari dan menyelamatkan yang hilang”. Begitu pula Gereja melimpahkan cinta kasihnya kepada semua orang yang terkena oleh kelemahan manusiawi. Bahkan dalam mereka yang miskin dan menderita, Gereja mengenali citra pendirinya yang miskin dan menderita, berusaha meringankan kemelaratan mereka, dan bermaksud melayani Kristus dalam diri mereka.



Di sini tampak bahwa Gereja terutama harus berpaling kepada orang-orang miskin. Sikap seperti ini mesti digemakan sebagai bentuk keteladanan Gereja terhadap perutusan Kristus itu.[48] Gereja ada bukan untuk mencari kemegahan dan sukses dirinya sendiri, tetapi ada bagi mereka yang membutuhkan. Keprihatinan dan keterlibatan Gereja dalam masalah yang menyentuh kebutuhan dasar manusiawi ini berlandaskan pada kehendak Kristus untuk menyelamatkan semua orang. “Aku datang supaya mereka memperoleh hidup dan mempunyainya dalam segala kehidupan” (Yoh 10:10).

4.2 Melibatkan Berbagai Pembangunan “Teologi lokal”

Apakah “teologi lokal” itu? Robert J. Schreiter[49] yang diacu oleh Bosch dalam mendefinisikan teologi lokal, menyatakan bahwa mendefinisikan dengan tepat apakah teologi lokal itu jelas merupakan proses yang sulit. Terutama karena konteks sejarah, peranan pengalaman, kebutuhan akan perjumpaan dengan tradisi-tradisi iman dalam berbagai komunitas orang-orang percaya lainnya. Faktor-faktor itu harus dilihat sebagai relasi dialektis yang dapat memberikan ‘makanan’ untuk pertumbuhan suatu teologi lokal. Ketiga faktor utama dibalik teologi lokal adalah Injil, Gereja dan budaya.[50] Injil di sini berarti Kabar Baik Yesus Kristus dan keselamatan yang dikerjakan-Nya. Gereja adalah tempat di mana Injil telah menjadi daging dan terlibat dalam situasi lokal. Budaya adalah konteks konkret tempat Injil dan Gereja mengekspresikan diri. Budaya mewakili cara hidup suatu masa dan tempat tertentu yang dipenuhi dengan nilai, lambang dan makna, demi dunia yang lebih baik.[51] Usaha menyusun suatu teologi lokal membutuhkan interaksi yang bersifat dinamis dari ketiga akar ini: Injil, Gereja dan budaya. Teologi lokal mulai dengan kebutuhan suatu bangsa di suatu tempat tertentu dan dari situ bergerak ke tradisi iman.[52] Ia memulai dialog dengan Tradisi Kristen membahas pertanyaan-pertanyaan yang sungguh-sungguh lahir dari keadaan-keadaan setempat. Teologi lokal menekankan konteks melalui persatuannya dengan Gereja lokal.


4.2.1 Menemukan Kembali Peran Gereja Lokal

Tugas Gereja digambarkan dalam Injil Matius 28:19-20: ” Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”.

Perikop ini menurut Bosch adalah puncak dari Injil Matius. Ia menyebut perikop ini sebagai “Amanat Agung”. Semua benang yang dijalin menjadi lembaran kain Matius sejak bab pertama, berkumpul di sini.[53] Tempat di mana “Amanat Agung” itu diletakkan adalah Gereja atau jemaat setempat. Karena itu jemaat yang tidak bersatu adalah halangan yang terbesar bagi pemenuhan “Amanat Agung” itu. Sebaliknya jemaat-jemaat yang bersatu adalah agen utama yang digunakan oleh Allah untuk mencapai pemenuhan atas “Amanat Agung” itu. Dengan demikian tugas hakiki Gereja sebagai duta Kristus memberitakan Kerajaan-Nya dapat tercapai. Semua aktivitas Gereja, baik pelayanan sosial, pendidikan atau usaha apapun lainnya yang dilakukan, lahir dari tugas hakiki ini yang diikatkan kepadanya. Semua itu adalah tanda-tanda yang menunjuk pada Kristus sebagai juru selamat seluruh umat manusia.


Dekrit Ad Gentes menegaskan bahwa misi merupakan hakekat Gereja.[54] Karena itu misi adalah tanggung jawab seluruh umat Allah, baik secara keseluruhan maupun masing-masing umat. Misi bukan lagi merupakan gerak searah melulu dari ‘Gereja-gereja yang lebih tua’ ke ‘Gereja-gereja muda’.[55] Sebab Gereja setempat diutus oleh Kristus untuk mewartakan Injil kepada dunia sekitarnya dan ke seluruh dunia. Setiap Gereja setempat bertanggungjawab atas misi dalam kesatuan dengan Gereja universal.

Suatu perubahan juga terjadi dalam misi Protestan ketika konferensi Yerusalem (1928) dan Tambaran (1938) mulai mengakui ‘Gereja-gereja muda’ sebagai Gereja-gereja yang sederajat. ‘Gereja tua’ dan ‘Gereja muda’ mempunyai tanggung jawab dan tugas yang sama yaitu mewartakan Kabar Gembira keselamatan. Selanjutnya konferensi Ghana (1958) menolak kedua istilah di atas. Penolakan ini atas dasar bahwa setiap Gereja di manapun harus dimengerti sebagai pelaksana misi.

Gereja Katolik pun demikian menurut Bosch. Terminologi Gereja lokal untuk kurun waktu tertentu tidak ada. Bosch mengungkapkanya demikian:

Dalam Katolisisme, perkembangan-perkembangannya jauh lebih nyata dan dramatis. Selama berabad-abad “Gereja-gereja setempat/lokal” tidak pernah ada, baik di Eropa maupun di “ladang-ladang misi”, yang ada, paling-paling, adalah afiliasi dari Gereja universal. “Gereja-gereja misi”, khususnya harus meniru Gereja di Roma hampir dalam setiap rinciannya; mereka “adalah misi” Gereja-gereja kelas kedua, Gereja-gereja anak, anak-anak yang belum dewasa, wakil-wakil kerasulan dan belum menjadi keuskupan-keuskupan yang otonom (Buhlmann 1977:45).[56]



Akan tetapi setelah Perang Dunia I, terminologi Gereja lokal mulai ditemukan kembali dalam dokumen-dokumen seperti Ensiklik Maximum Illud (30 November 1919) dari Paus Benediktus XV, Ensiklik Rerum Ecclesia (28 Februari 1926) dari Paus Pius XI, dan Ensiklik Fidei Donum (21 April 1957) dari Paus Pius XII dan semakin jelas dalam Konsili Vatikan II.[57] Dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium (LG) nomor 26 dinyatakan demikinan:


Gereja Kristus itu sungguh hadir dalam semua jemaat beriman setempat yang sah, yang mematuhi para gembala mereka, dan dalam Perjanjian Baru disebut “Gereja”. Gereja-gereja itu di tempatnya masing-masing merupakan Umat baru yang dipanggil oleh Allah, dalam Roh Kudus dan dengan sepenuh-penuhnya. Di situ umat beriman berhimpun karena pewartaan Injil Kristus, dan dirayakan misteri Perjamuan Tuhan, “supaya karena tubuh dan darah Tuhan semua saudara perhimpunan dihubungkan erat-erat”. Di setiap himpunan di sekitar altar, dengan pelayanan suci Uskup, tampillah lambang cinta kasih dan “kesatuan tubuh mistik itu, syarat mutlak untuk keselamatan”. Di jemaat-jemaat itu meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus; dan berkat kekuatan-Nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus katolik dan apostolik. Sebab “keikut-sertaan dalam tubuh dan darah Kristus tidak lain berarti berubah menjadi apa yang kita sambut.



Gagasan dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium ini menyatakan bahwa Gereja universal secara aktual menemukan keberadaan yang sebenarnya dalam Gereja lokal karena martyria, leitourgia dan diakonia secara praktis terjadi di sana. Senada dengan gagasan dalam Lumen Gentium itu, dekrit Ad Gentes nomor 6 menyatakan demikian:

Tujuan kegiatan misioner itu ialah mewartakan Injil dan menanamkan Gereja di tengah-tengah bangsa-bangsa atau golongan-golongan di mana Gereja belum berakar. Demikian dari benih sabda Allah tumbuhlah di mana-mana Gereja-gereja khusus pribumi yang cukup mantap, mempunyai daya kekuatan mereka sendiri serta dewasa.


Nomor 10 dari dokumen yang sama menambahkan bahwa:

“…Untuk dapat menyajikan kepada semua orang misteri keselamatan serta kehidupan yang disediakan oleh Allah, Gereja harus memasuki golongan-golongan itu dengan gerak yang sama seperti Kristus sendiri, ketika Ia dalam penjelmaan-Nya mengikatkan diri pada keadaan-keadaan sosial dan budaya tertentu, pada situasi orang-orang yang sehari-harian dijumpai-Nya”.



Demikian sebuah Gereja partikular[58] bukanlah sekedar satu bagian dari Gereja universal, melainkan merupakan kehadiran Gereja universal dalam waktu dan ruang tertentu. Gereja setempat bukan cabang atau “wakil” Gereja universal, tetapi dasarnya. Yang pertama dan utama adalah Gereja lokal, kalau tidak ada Gereja lokal maka Gereja universal adalah organisasi di atas kertas. Gereja universal adalah sebuah keluarga dari Gereja-gereja setempat. Masing-masing harus terbuka terhadap kebutuhan-kebutuhan dan praktek berbagi dalam kekayaan rohani dengan yang lainnya.[59] Melalui saling melayani, Gereja itu diwujudkan dalam persekutuan bersama.


4.2.2 Peran Teolog Profesional


Seorang teolog profesional mempunyai andil dalam proses maju-mundurnya suatu teologi lokal. Darinya kita dapat menimbang bahaya apa yang akan terjadi jika teologi lokal bersifat tertutup terhadap masukan dari luar. Kajian teologisnya dapat kita jadikan sebagai rambu-rambu dalam perjalanan suatu teologi lokal menuju kepenuhannya. Teolog profesional bertindak sebagai sumber yang penting dalam pengembangan teologi-teologi lokal. Ia menolong ikatan saling bertanggungjawab antara Gereja setempat dengan Gereja universal. [60] Seorang teolog profesional tidak lagi menjadi seperti seekor burung yang bertengger di atas atap yang hanya mengamati dunia dengan segala penderitaanya, tetapi turun dan berkubang.[61]

4.3 Membaca Tanda-tanda Zaman

Pewartaan Injil adalah unsur yang membangun (konstitutif) dalam hidup sebagai orang Kristen. Karena itu mewartakan Injil merupakan tanggung jawab setiap orang beriman dalam lingkungan masyarakat di mana ia tinggal. Di sini umat beriman ditantang bagaimana mewartakan Injil dalam cara-cara yang dapat dipahami dan dimengerti oleh pendengarnya, sehingga pewartaan itu sungguh menyentuh dan menyapa serta dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan konkret pendengarnya.

Gereja, dalam mewartakan Kabar Gembira Yesus Kristus di zaman sekarang, harus memperhatikan “tanda-tanda zaman”. Konsili Vatikan II menekankan bahwa kita perlu membaca tanda-tanda zaman dengan cermat, menafsirkannya dalam terang iman dan menjawabnya dengan mantap. Konstitusi Pastoral Gaudeum et Spes nomor 4 menyatakan demikian:

Untuk menunaikan tugas seperti itu, Gereja selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil. Demikianlah Gereja dengan cara yang sesuai dengan setiap angkatan-akan dapat menanggapi pertanyaan-pertanyaan, yang di segala zaman diajukan oleh orang-orang tentang makna hidup sekarang dan di masa mendatang, serta tentang hubungan timbal-balik antara keduanya. Maka perlulah dikenal dan difahami dunia kediaman kita beserta harapan-harapan, aspirasi-aspirasi dan sifat-sifatnya yang sering dramatis.

Gereja harus menegaskan kembali peran dan fungsinya bagi dunia dalam terang dan bimbingan Roh. Roh Kristus memampukan Gereja memperbarui dirinya terus-menerus. Kemampuan untuk menafsirkan tanda-tanda zaman dalam terang Roh ini merupakan sumbangan yang berarti dari Gereja kepada dunia. Keterlibatan Gereja dalam masalah-masalah dunia merupakan partisipasi dan tanggungjawab atas keselamatan seluruh umat manusia. Gereja hadir bagi dunia untuk semua manusia. Namun kehadiran Gereja akan lebih bermakna bagi dunia kalau ia menemukan cara-cara pewartaan yang dapat menyentuh hati manusia sehingga mereka tergerak untuk semakin dekat dan mengarahkan hidupnya kepada Allah. Untuk maksud inilah dituntut dari Gereja kemampuan untuk membaca tanda-tanda zaman.

Membaca tanda-tanda zaman merupakan suatu ungkapan yang telah menyerbu bahasa gerejawi masa kini.[62] Ungkapan ini menghadapkan Gereja pada suatu pertanyaan bagaimana seharusnya menafsirkan tindakan Allah di dalam sejarah dan berpartisipasi di dalamnya. Masalah pertama yang membingungkan menurut Bosch ialah kekeliruan membaca tanda-tanda zaman itu sendiri. Lebih lanjut ia menuliskan bahwa ada saatnya ketika “kolonialisme yang baik hati” dari Barat secara luas dipandang sebagai intervensi Allah dalam sejarah. Kemudian masalah apartheid di Afrika Selatan. Beberapa orang Kristen menyambutnya sebagai solusi yang adil dari Allah atas masalah-masalah di negeri itu. Peristiwa-peristiwa politik dan pembangunan-pembangunan di Uni Soviet juga dipandang oleh orang-orang Kristen sebagai tanda-tanda zaman yang Ilahi.[63]

Kehadiran Gereja di tengah dunia serentak membawa tugas baru yaitu meluruskan pandangan yang keliru ini. Meluruskan kecenderungan orang-orang Kristen yang menguduskan suatu bentuk penindasan pada waktu tertentu dan menganggapnya sebagai bentuk intervensi Allah.
Menafsirkan tanda-tanda zaman sifatnya wajib bagi Gereja. Dekrit Ad Gentes nomor 4 menegaskan bahwa Gereja dalam membaca tanda-tanda zaman harus menafsirkannya di dalam terang Injil. Usaha ini memang mengandung resiko-resiko yang tidak kecil dan mempunyai keabsahan yang bersifat relatif, karena penilaian-penilaian kita tidak persis sama dengan penghakiman akhir Allah.[64] Fakta-fakta sejarah tidak menyingkapkan di mana Allah bekerja, melainkan fa

[1] Arie de Kuiper, Missiologia: Ilmu Pekabaran Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm. 9; bdk. Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Misiologi ( Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 13.



[2] Yacobus Hariprabowo, “KEBERAGAMAN AGAMA DAN MISI GEREJA: Salam Damai atau Genderang Perang?”, dalam Rajawali, no.01:1-69 (Januari 2005), hlm. 57.

[3] Arie de Kuiper, Missiologia …, hlm. 9.

[4] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 15.


[5] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 631.

[6] Paradigma misi dapat dirumuskan sebagai model interpretasi dan pemahaman yang mempengaruhi, bahkan menentukan keyakinan dan nilai serta teknik-teknik misi yang dipahami oleh Gereja sebagai suatu komunitas dalam era tertentu. [Lihat Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner: dalam Konteks Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 33.]

[7] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 2.


[8] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 16.

[9] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 598.

[10] Lalsangkima Pachuau, “Missiology in a Pluralistic World: The Place of Mission Study in The Theological Education”, dalam International Review of Mission, vol. LXXXIX no. 355 (October 2000), hlm. 543.

[11] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 1.


[12] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 1; bdk. Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar …, hlm. 17.

[13] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 3-5; bdk. Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar …, hlm. 18.


[14] Istilah ateisme berasal dari kata Yunani a-Theos yang berarti tiada Tuhan. Selanjutnya ateisme dimengerti sebagai aliran yang menolak adanya Tuhan atau keberadaan Tuhan, penolakan akan adanya Tuhan. Sikap-sikap ateisme misalnya, sikap indeferen yang toleren, sampai penolakan yang militan. Keraguan ini berkaitan dengan konsep mengenai Allah yang ditolak dan lingkungan sosio Gerejawi yang menjadi latar belakang pertentangan ini. [Lihat Gerald O. Collins, Edward G. Farrugia, (ed.) Kamus Teologi (judul asli: A Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 35.]

[15] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 4; bdk. Reinhard Hempelmann, ”The Context of Christian Witness in the 21ST Century”, dalam International Review of Mission, vol. XCII no. 364 (January 2003), hlm. 47.


[16] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 16; bdk. Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar …, hlm. 13.


[17] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 13.33.84.

[18] Hans Kung adalah seorang teolog Katolik, ia juga seorang profesor teologi ekumene dan direktur institut untuk penelitian ekumene pada Universitas Tübingen, Jerman. [Lihat Sinclair B. Ferguson, David F. Wright, J.I. Packer, (ed.), New Dictionary of Theology (Leicester, England: Intervarsity, 1988), hlm. 373-374.]

[19] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 289; bdk. Stanley H. Skreslet, “Networking, Civil Society, an the NGO: A New Model for Ecumenical Mission”, dalam Missiology An International Review, vol. XXV no. 3 (July 1997), hlm. 307.


[20] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 289.

[21] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 286.


[22] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 286.

[23] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 561.

[24] Widi Artanto, Menjadi …, hlm. 34.


[25] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 535; bdk. Stanley H. Skreslet, “Networking …”, hlm. 308.

[26] Kirsteen Kim, “Post-Modern Mission: A Paradigm Shift in David Bosch’s Theology of Mission?”, dalam International Review of Mission, vol. LXXXIX no. 353 (April, 2000), hlm. 172.

[27] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 535; bdk. Stanley H. Skreslet, “Networking …”, hlm. 308.

[28] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 535; bdk. Stanley H. Skreslet, “Networking …”, hlm. 309.


[29] Widi Artanto, Menjadi …, hlm. 29.

[30] Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 120; bdk. Lalsangkima Pachuau, “Missiology …”, hlm. 544.


[31] Yacobus Hariprabowo, “KEBERAGAMAN …”, hlm. 56.

[32] Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar …, hlm. 19.

[33] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 571.

[34] Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Nusa Indah, 1990), hlm. 73.

[35] “Konstitusi Dogmatik tentang Gereja” (LG), no. 1, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993), hlm. 7. Untuk selanjutnya akan digunakan singkatan LG.


[36] Stanley H. Skreslet, “Networking …”, hlm. 312 - 313.

[37] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 649.

[38] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 577.

[39] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 652.

[40] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 577.


[41] “Konstitusi Pastoral tentang tugas Gereja dalam Dunia Dewasa ini” (GS), no. 1, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993), hlm. 11. Untuk selanjutnya akan digunakan singkatan GS.

[42] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 654.


[43] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 654.

[44] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 598.

[45] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 598.

[46] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 597.

[47] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 669.


[48] Untuk maksud ini jugalah konferensi umum kedua dan ketiga dari para Uskup Amerika Latin di Medellin, Kolumbia, tahun 1968 dan di Puebla, Meksiko, tahun 1979, menciptakan dan menegaskan ungkapan “pilihan preferensi atas kaum miskin”. Kata “pilihan” tidak berarti Allah hanya tertarik kepada kaum miskin, kata itu tidak boleh dipahami sebagai “manasuka”. Sebaliknya, maksudnya ialah bahwa kaum miskin adalah yang pertama, meskipun bukan satu-satunya, yang kepadanya perhatian Allah ditujukan, oleh karena itu Gereja tidak mempunyai pilihan kecuali menunjukkan solidaritas dengan kaum miskin. [Lihat David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 668.]


[49] Robert J. Schreiter adalah seorang imam Katolik dari Serikat Darah Mulia. Pada tahun 1977 ia menjadi Dekan pada Catholik Theological Union di Chicago, sekaligus menjadi wakil Provinsial dalam kongregasinya, Serikat Darah Mulia (C.PP.S). Tahun 1969-1973, ia menyelesaikan studi teologinya di Universitas Nijmegen, Belanda, dan menerima gelar Doktor tahun 1974. Tahun 1973-1974, ia mengikuti studi tambahan di Universitas Oxford. [Lihat Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal (judul asli: Constructing Local Theology), diterjemahkan oleh Stephen Suleeman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. xi.]

[50] Robert J. Schreiter, Rancang …, hlm. 36.

[51] Robert J. Schreiter, Rancang …, hlm. 37.

[52] Robert J. Schreiter, Rancang …, hlm. 25.

[53] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 87.


[54] AG no. 2 . 35.

[55] “Gereja-gereja muda” ini adalah ungkapan yang menyatakan suatu jemaat yang baru didirikan. Artinya jemaat itu berdiri setelah di sana di-Injili. Sedangkan “Gereja tua” adalah jemaat yang sudah lama berdiri.


[56] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 581.

[57] Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar …, hlm. 144. 146. 150.


[58] Gereja partikular adalah suatu himpunan umat Allah, suatu gambaran tentang Gereja universal, suatu komunitas kaum beriman, yang dipersatukan oleh Roh Kudus, Injil dan Ekaristi. Bersama dan melalui Uskup yang dibantu oleh para imam dalam reksa pastoralnya, menurut undang-undang Gereja partikular, himpunan umat Allah itu adalah Gereja Kristus yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik. Singkatnya Gereja partikular adalah keuskupan dan Gereja-gereja yang disamakan dengan keuskupan. [Lihat Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja: A – G (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1991), hlm. 390.]

[59] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 582.
[60] Robert J. Schreiter, Rancang …, hlm. 33.

[61] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 650.

[62] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 657.


[63] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 657.

[64] David J. Bosch, Transformasi …, hlm. 661.