20080228

Devosi kepada hati Kudus Yesus

disadur dari Skripsi Fr. Sensianus Jebarus OFMConv
DEVOSI KEPADA HATI KUDUS YESUS MENURUT ENSIKLIK HAURIETIS AQUAS

Pengantar
Gereja Katolik memiliki tradisi yang amat luhur dalam memusatkan perhatian pada doa dan liturgi. Dalam doa terdapat juga ulah kesalehan. Ulah kesalehan itu mendapat tanggapan penting dalam Konsili Vatikan II. Dalam dekrit tentang Liturgi (Sacrosanctum Concilium), dikatakan:
Hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut serta dalam liturgi. Sebab manusia kristiani, yang memang dipanggil untuk berdoa bersama, […] harus memasuki biliknya untuk berdoa kepada Bapa di tempat yang tersembunyi.[1]
Ulah kesalehan umat kristiani, asal saja sesuai dengan hukum dan norma-norma Gereja, sangat dianjurkan, terutama bila dijalankan atas penetapan Takhta Apostolik. Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para uskup, menurut adat-kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan.[2]
Salah satu bentuk ulah kesalehan itu ialah devosi[3] kepada Hati Kudus Yesus. Secara historis, devosi kepada Hati Kudus Yesus tersebut berkembang dari penghormatan kepada kemanusiaan Kristus, yang sudah berkali-kali dibela oleh Gereja dengan alasan bahwa kodrat manusia Yesus dan kodrat ilahi Allah Putera menyatu dalam satu pribadi, yaitu Pribadi Allah Putera.[4]
Pada abad pertengahan, devosi kepada Hati Kudus Yesus mulai berkembang melalui tokoh-tokoh mistik kristen seperti St. Bernardus dari Clairvaux, St. Mechtildis, St. Fransiska dari Roma, St. Fransiskus dari Sales, dan beberapa tokoh lain. Devosi ini semakin populer berkat penampakan Yesus yang menunjukkan hati-Nya yang terluka kepada St. Margareta Maria Alacoque (1647-1690), yang mendorong laku silih dan praktek menerima Komuni Suci pada hari Jumat pertama setiap bulan.[5]
Pihak kepausan pertama kali mengakui kultus liturgi terhadap devosi kepada Hati Kudus Yesus pada tahun 1765. Pada tahun 1856 Paus Pius IX mewajibkan pesta Hati Kudus Yesus bagi seluruh Gereja. Puncak dari semua dukungan itu pada tahun 1956 lewat ensiklik Haurietis Aquas[6] (Marilah Menimba Air), Paus Pius XII memberikan dasar-dasar teologis berdasarkan Kitab Suci, kesaksian para Pujangga-pujangga Gereja dan nilai serta kekhasan dari devosi kepada Hati Kudus Yesus.[7]
Kebaktian Gereja kepada Hati Kudus Yesus terlaksana karena hati Yesus merupakan simbol cinta Ilahi yang hadir dalam misteri penjelmaan Allah dan penebusan manusia. Penjelmaan-Nya menjadi manusia membuktikan cinta Allah hadir di tengah-tengah manusia. Puncak dari cinta-Nya itu dinyatakan dalam misteri Paska yakni sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya demi penebusan dosa manusia. Dalam misteri Paska itu, lambung Yesus ditikam dan keluarlah air dan darah yang melambangkan Gereja dan Ekaristi lahir dari pada-Nya.
Atas dasar itu, Gereja sudah sewajarnya menghormati Hati Kudus Yesus dengan ibadat khusus. Dengan ibadat khusus itu, Gereja berharap mampu mengantar orang untuk lebih merenungkan cinta Yesus yang hadir bersama umat manusia di dunia dan rela menderita demi menebus dosa-dosa manusia.
Ensiklik HA mengajak Gereja untuk menghormati Hati Kudus Yesus, bukan tanpa tujuan, bukan pula dari semacam kepercayaan yang tidak mempunyai makna, tetapi timbul dari iman yang kuat dan sejati akan misteri cinta Kristus kepada umat manusia. Gereja mengharapkan agar umat semakin mencintai Yesus Kristus lewat praktek-praktek devosi lalu mengikuti keutamaan-keutamaan-Nya sehingga sampai pada pemahaman akan Yesus yang merupakan pokok dan pusat kehidupan iman kristiani.
Dengan dikeluarkannya ensiklik HA, Gereja mau mengemukakan beberapa masalah yang berkaitan dengan kegiatan devosi kepada Hati Kudus Yesus dan memberi pemahaman dengan meneliti dasar teologis dari Kitab Suci serta memberi orientasi untuk memperluas devosi kepada Hati Kudus Yesus kepada seluruh umat beriman. Melalui ensiklik HA itu juga, Paus Pius XII mengingatkan bahwa kebaktian kepada Hati Kudus Yesus telah lama dijalankan dalam Gereja dan mendapat dukungan kuat dari Kitab Suci serta selalu mendapat tempat istimewa dalam liturgi.[8] Karena itu, dalam memperingati seratus tahun pesta Hati Kudus Yesus dimasukkan ke dalam liturgi resmi Gereja, Paus Pius XII memperbaharui kebaktian tersebut dan mengajak umat agar tak bimbang dan ragu untuk menyerahkan diri kepada Hati Kudus Yesus.[9]
Devosi kepada Hati Kudus Yesus berkembang dengan amat pesatnya di dalam Gereja. Sangat banyak orang berminat dan tertarik untuk ikut melakukannya. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya orang yang melakukan devosi tersebut baik di kalangan religius maupun di kalangan umat beriman lainnya. Namun, disayangkan bahwa perkembangan itu tidak dilandasi oleh pengertian dan pemahaman yang mendalam. Ketidakpahaman itu mengakibatkan kekeliruan, yang pada akhirnya melahirkan pemahaman yang salah atasnya. Kekeliruan itu terletak pada adanya anggapan bahwa kebaktian ini dapat disamakan dengan ibadat-ibadat lain dalam gereja serta prakteknya dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginan pribadi.[10]
Di sisi lain, ketidakpahaman itu juga melahirkan sikap pragmatis[11] terhadap devosi kepada Hati Kudus Yesus. Orang cenderung hanya ingin memperoleh hasil yang kelihatan dari pada motivasi untuk melakukannya. Motivasi yang benar adalah bahwa manusia ingin membalas cinta Kristus yang adalah Tuhan dan Manusia yang dilambangkan dengan hati kudus-Nya. Selain dari sikap pragmatis, ada juga yang merasa bahwa devosi tersebut tidak diperlukan lagi oleh orang beriman dewasa ini karena tidak membantu untuk mengembangkan hidup rohani.[12]
Oleh karena betapa banyak kelimpahan air kebahagiaan, yaitu anugerah-anugerah surgawi cinta ilahi, timbul dari Hati Kudus Penebus kita yaitu Yesus Kristus dan dengan ilham dan karya Roh Kudus telah melimpahi umat dengan tak terbilang banyaknya, Gereja melalui ensiklik ini menganjurkan kepada semua umat beriman yang berkehendak baik supaya mempersembahkan pujian yang amat tinggi, yang muncul dari hati yang paling dalam, untuk menghormati Hati Kudus Yesus dengan segala kebaktian. Sebab Paulus Rasul telah mengingatkan kita bahwa: “bagi Dia-lah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada apa yang kita minta dan mengerti kepada-Nya pujian Gereja dan dalam Tuhan Yesus Kristus selama-lamanya” (bdk. Ef 3:20-21).[13]
Tujuan lain dari ensiklik HA adalah anjuran untuk menanggapi kebaktian Hati Kudus Yesus dengan lebih giat dan menyebarkannya secara meluas. Paus Pius XII menegaskan bahwa:
Devosi ini bukanlah salah satu devosi yang dapat dikesampingkan atau diremehkan oleh siapa pun juga melainkan suatu bentuk kebaktian kepada Tuhan yang istimewa bermanfaat dan berguna untuk mencapai kesempurnaan umat kristen.[14]

Dengan demikian, devosi kepada Hati Kudus Yesus adalah devosi yang sangat bernilai dan berguna untuk memperoleh kesempurnaan. Sebab, menurut Paus Pius XII “tiada yang lebih berkenan dan yang lebih baik daripada pengabdian kepada cinta Ilahi yang mengabdi karena cinta”.[15]
Devosi kepada Hati[16] Kudus Yesus membuat cinta Kristus hidup di dalam diri manusia, dan mengajaknya untuk membalas cinta-Nya. Berdevosi kepada Hati Kudus Yesus berarti berbakti kepada cinta Yesus yang meluap terhadap manusia yang cinta-Nya sering tidak dibalas oleh manusia. Dengan devosi kepada Hati Kudus Yesus, terdapat lambang-lambang seperti: cinta kasih Penebus yang bernyala-nyala, kerinduan hati-Nya untuk mendapatkan balasan cinta kasih, penderitaan, kedukaan dan kekecewaan-Nya karena tidak dibalas cinta-Nya tetapi malah diinjak-injak. [17]
Hati Yesus adalah lambang dan sekaligus ungkapan cinta kasih Allah kepada manusia, dan oleh karena itu sudah sewajarnya dihormati oleh orang-orang beriman. Dasar teologis Hati Kudus Yesus adalah kesatuan hipostatis[18] antar pribadi Tritunggal, dan sasarannya ialah pribadi Ilahi. Dalam devosi itu tercakup pula unsur-unsur subyektif dan psikologis terhadap kasih Kristus yang menyelamatkan, khususnya yang terungkap dalam sengsara-Nya.
1. Rangkuman
Devosi kepada Hati Kudus Yesus telah lama dipraktekkan dalam Gereja Katolik dan belum pernah Gereja melarang adanya devosi tersebut sebagai pengungkapan religiositas. Sebaliknya, di berbagai kesempatan, Gereja selalu mendukungnya dengan memasukkan ke dalam liturgi resmi Gereja. Dengan dimasukkan ke dalam liturgi Gereja, devosi itu mendapat sambutan yang hangat dari umat beriman kristiani sehingga berkembang dengan pesatnya di mana-mana. Pihak otoritas Gereja pun tidak kalah pentingnya mendorong devosi tesebut dengan dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan .
Salah satu dokumen itu adalah ensiklik HA yang dikeluarkan oleh Paus Pius XII pada tanggal 15 Mei 1956. Latar belakang dikeluarkannya ensiklik HA yaitu untuk memberikan pendasaran teologis berdasarkan Kitab Suci, nilai dan kekhasan dari devosi Hati Kudus Yesus. Dengan itu, Paus Pius XII hendak memberikan pemahaman kepada umat beriman yang masih keliru dan yang kurang memahami devosi tersebut.
Alamat ensiklik HA ditujukan kepada para uskup dan seluruh umat beriman di seluruh dunia serta kepada semua orang yang berkehendak baik untuk kembali mempraktekan devosi kepada Hati Kudus Yesus secara tepat guna.
Tujuannya adalah Gereja mau menunjukkan keseriusan dan rasa tanggung jawab yang penuh atas berbagai macam kebutuhan rohani umat beriman kristiani yang sesuai dengan situasi zaman. Melalui ensiklik HA, Gereja menganjurkan kepada semua umat beriman yang berkehendak baik supaya mempersembahkan pujian yang amat tinggi, yang muncul dari hati yang paling dalam, untuk menghormati Hati Kudus Yesus dengan segala kebaktian. Oleh karena itu, HA bermaksud untuk memberikan pemahaman mendasar yang berkaitan dengan kebaktian kepada Hati Kudus Yesus. Pemahaman mendasar tersebut antara lain adalah meluruskan pemahaman yang salah dengan menggali dasar teologis dari dalam Kitab Suci serta membeberkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

1. Dasar Teologis
Dalam Kitab Suci, kekayaan spiritualitas sekitar hati, baik hati manusia maupun hati Allah, memiliki makna mendalam. Biasanya spiritualitas hati dilihat dari hubungan antara manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya.[19]
Dalam peredaran sejarah, umat Israel mulai mengerti bahwa hanya karena cinta-Nya Allah mau mewahyukan diri-Nya kepada mereka dan memilih mereka dari segala bangsa untuk menjadi milik-Nya. Berkat pewartaan para nabi, Israel terus mengerti bahwa Allah mau mengampuni mereka dari ketidaksetiaan dan dari dosa-dosa mereka hanya karena cinta-Nya.[20]
Untuk mengungkapkan relasi bangsa Israel dengan YHWH, Kitab Suci memakai bahasa simbolis, yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Ini, misalnya, dapat dilihat dalam sebutan “Bapa”, “Ibu” atau “Suami” yang dikenakan pada YHWH, dan kepada Israel dikenakan sebutan “anak” atau “pengantin”. Relasi familiar itu menunjukkan relasi “cinta”.
Semua ungkapan di atas mau menggambarkan bahwa cinta Allah kepada manusia melebihi cinta segala makluk ciptaan.[21] Cinta Allah itu tidak dapat ditandingi dengan cinta apa pun di dunia.
Relasi cinta itu dicirikan oleh hati. Jawaban manusia atas cinta YHWH itu harus dilihat dari hati yang menerima (Israel), sebab yang memberinya adalah Allah dengan hati yang penuh cinta dan kasih setia. Hati adalah pusat diri manusia, tempat di mana tinggal kecenderungan manusia. Karena itulah YHWH menguji hati dan pikiran manusia (Yer 11:20; 17:10; 20:12). Hati manusia adalah juga sumber kejahatan (Yer 17:9). Karena itulah umat Israel jatuh dalam dosa dan hati mereka tidak terarah lagi kepada Allah. Namun, hati juga adalah tempat di mana Allah hadir dalam diri manusia. Hati manusia yang bersih dan tak bercacat, itulah yang dikehendaki oleh Allah.[22]
Relasi cinta antara YHWH dengan Israel sangat ditentukan oleh disposisi hati. Relasi YHWH dengan Israel bukanlah terutama relasi yuridis dan kultis, tetapi relasi hati yang penuh cinta. Karena itulah para nabi sangat menekankan bahwa relasi dengan YHWH bukan terutama terletak pada kurban dan ketaatan pada aturan ritual, tetapi pada disposisi hati yang taat dan penuh cinta (Yer 6:20; 11:15; 29:12-14; 31:34).[23]
Secara negatif boleh dikatakan bahwa penerimaan manusia akan cinta Allah tidak tergantung pada Bait Allah dan ritualnya (Yer 7:1-15; 26:1-24), tidak juga pada sunat (Yer 9:25-26), atau pada suatu tempat di tanah terjanji, tetapi cinta Allah dapat ditemui di mana saja, asal hati siap sedia (bdk. Yer 29:13-14). Maka penerimaan pribadi akan cinta Allah adalah dari ketaatan personal yang terletak pada hati.[24]
Kehendak Allah untuk menerima cinta-Nya itu, tidak sesuai dengan disposisi hati umat Israel. Umat Israel ditandai dengan keberdosaan dan kurang terarah pada hati Allah. Mereka telah mengalami kesukaran untuk mencapai hati yang baik, hati yang bersatu dengan Allah dan hati yang penuh cinta. Mereka jatuh pada penyembahan berhala dan idolatria. Karena itu Allah berjanji akan memberikan mereka hati yang baru, yaitu hati yang penuh cinta dan penuh belaskasihan, sebab Allah sendiri adalah Allah yang setia dan berbelaskasih (bdk. Yer 24: 7).[25]
1.1.1 Hati Messias
Sejak awal umat Israel menantikan seorang Messias yang dijanjikan oleh YHWH kepada mereka. Messias yang akan datang itu, dalam pemahaman mereka, memiliki kapasitas serba bisa dan memiliki hati yang baru yang terikat pada Allah karena memiliki Roh Tuhan (bdk. Yes 11:2). Dia akan memulihkan kedamaian universal dan mempersatukan hati Israel dengan kedamaian, kebenaran, dan hati yang penuh belaskasih.[26]
Dia yang akan datang itu juga dicirikan dengan takut akan Allah (Yer 11:3), taat dan suka melakukan kehendak-Nya. Taurat Allah ada di dalam hati-Nya. Dia yang akan datang itu selalu dekat dengan Allah sampai mempertaruhkan hati-Nya.[27] “Aku akan membuat dia maju dan mendekat kepada-Ku, sebab siapakah yang berani mempertaruhkan hatinya untuk mendekatkan kepada-Ku” (Yer 30: 21).
Selain itu, hati Messias yang dinantikan itu adalah Dia yang akan membawa air hidup yang melambangkan keselamatan (bdk. Yes 12:3). Harapan Umat Israel akan air hidup itu sangat nampak dalam upacara pesta “Pondok Daun”[28]. Pada hari terakhir dari pesta itu ada upacara khusus yang mengingatkan janji Allah tentang Messias. Dalam upacara itu mereka berdoa untuk kedatangan Messias yang membawa air hidup.[29]
Kerinduan akan kehadiran Messias itu dapat juga ditemukan dalam beberapa Kitab Perjanjian Lama. Di sana dikatakan bahwa Messias yang dinantikan itu sama seperti Musa kedua yang hadir di tengah-tengah bangsa Israel yang dibangkitkan bagi mereka oleh YHWH (Ul 18:15). Dia yang dinantikan itu mulia sama seperti Musa, yang memberikan roti surgawi dan manna dari surga kepada umat Israel. Messias yang dinantikan itu akan memberikan air hidup sebagai lambang hidup yang benar dan ilahi sama seperti Musa dahulu di Padang Gurun memukul gunung batu dan dari dalamnya keluarlah air yang menyegarkan (Kel 17:1-7).[30] Messias yang datang itu akan menjadi sumber mata air keselamatan.[31] “Kamu akan menimba air dengan kegirangan dari mata air keselamatan dan kamu semua yang haus, marilah dan minumlah” (Yes 55:1). Demikian juga nabi Zakaria meramalkan:[32] “Mereka akan memandang sumber yang terbuka bagi penduduk Yerusalem dan mereka akan memandang air kehidupan dari Yerusalem” (Za 14:8). Nabi Yehezkiel juga meramalkan bahwa:[33]
Ada sumber yang terpancar di Bait Allah dan sumber itu menjadi sungai yang besar. Sungai yang besar itu adalah lambang keselamatan pada zaman Messias yang dimulai dari Yerusalem dan mengalir ke seluruh dunia (Yeh 47:1-12).
Seluruh ramalan itu bagi orang kristen terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Dari seluruh Injil menjadi nyata bahwa Yesus terlibat dengan segenap hati-Nya untuk melakukan hukum dan kehendak Allah Bapa tanpa menjauhkan diri dari-Nya. Melalui hati yang tetap bersatu dengan Allah, rencana keselamatan Allah diwujudkan.[34] Hal ini telah diramalkan oleh nabi Yeremia tentang janji pemulihan Israel, “Seperti yang dirancang Allah dalam hati-Nya” (Yer 30:24).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ungkapan biblis Perjanjian Lama tentang ramalan Messias mau mengarah kepada hati Yesus. Tentu saja Allah adalah Roh Murni yang tidak memiliki hati atau badan. Dalam hal ini, yang dimaskud adalah ungkapan metaforis untuk menyatakan kebenaran Allah. Berbicara mengenai hati Allah, bagaimana pun juga adalah kebenaran sebagaimana diungkapkan dalam Konsili Vatikan II (GS 1, 22) bahwa Yesus mencintai manusia dengan hati manusiawi-Nya.[35] Dengan demikian kita dapat menerapkan makna biblis hati Allah sebagai hati Yesus. Pikiran dan perasaan manusiawi Yesus adalah keharmonisan yang sempurna dengan Allah Bapa. Kehendak Allah pada kenyataan terwujud dalam inkarnasi-Nya dengan hati Putera. Ramalan-ramalan Kitab Suci Perjanjian Lama menunjuk pada hati Allah dan dalam keseluruhan keberadaan-Nya terlaksana dalam hati Yesus.[36] Maka ketika genap waktunya, karena Allah itu adalah “kasih” (1Yoh 4:8-16), Ia menyingkapkan rahasia-Nya yang tersembunyi kepada umat-Nya yaitu dengan mengutus Putera-Nya yang tunggal dan Roh cinta-Nya.[37]
Setelah dalam Perjanjian Lama Allah berbicara kepada hati Israel melalui tanda dan lambang yang menekankan misteri cinta-Nya, kini hati sebagai lambang cinta-Nya itu ditunjukkan-Nya dalam penyingkapan rahasia penjelmaan Allah menjadi manusia. Rahasia Allah yang tersembunyi itu kini tampak dalam pengutusan Putera dan Roh cinta-Nya. Segala ramalan dahulu hanyalah sebagai persiapan kepenuhan revelatio dari cinta-Nya yaitu dalam diri Sang Sabda yang menjelma.[38]
Dengan menggunakan ungkapan Santo Yohanes “Verbum caro factum est” (Sabda telah menjadi daging) (Yoh 1:14), Gereja memunculkan istilah “inkarnasi”. Ungkapan ini mau melukiskan peristiwa Putera Allah yang mengambil kodrat manusia, yang hadir di dunia untuk menebus dosa dan keselamatan manusia.[39] Kehadiran Putera Allah di dunia menjadi bukti nyata bahwa Allah menghendaki supaya semua manusia dapat memperoleh keselamatan dan mengenal kebenaran ilahi (1Tim 2:4).[40]
Sabda yang menjadi daging itu terpenuhi dalam diri Yesus Kristus yang hadir di tengah-tengah manusia. Ia datang membawa hati Allah untuk mendamaikan manusia dengan Allah dan dengan demikian menyelamatkan umat-Nya.[41] “Allah telah mengasihi kita dan telah mengutus Anak-Nya bagi dosa-dosa kita” (bdk. 1Yoh 4:10).
Sabda telah menjadi manusia supaya manusia mengenal cinta Allah. Ini adalah bukti bahwa Allah sungguh berbelas kasih terhadap manusia.[42]
Kasih Allah itu dinyatakan kepada manusia yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dunia, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16).
Rasul Yohanes menegaskan bahwa “Allah itu adalah kasih” (1Yoh 4:8-16). Ungkapan ini mau mengatakan bahwa cinta adalah kodrat Allah. Dengan mengutus Putera-Nya yang tunggal dan Roh cinta kepada dunia, Allah mewahyukan rahasia-Nya yang paling dalam yaitu Ia sendiri adalah pertukaran cinta abadi, Bapa, Putera dan Roh Kudus.[43] Hati Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia itu adalah hati ilahi dan hati manusiawi Yesus. Dalam inkarnasi, persatuan yang penuh rahasia, yaitu kodrat ilahi dan kodrat manusiawi-Nya, diterima dan bukan ditolak. Ini berarti bahwa jiwa dan raga Kristus memiliki kodrat manusiawi, tetapi sekaligus menyatu dalam kodrat ilahi-Nya yang terlaksana dalam pribadi Kristus melalui satu “pribadi Allah Tritunggal”. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Pribadi Sabda yang menjelma tidak bisa dipisahkan dari Pribadi Allah Tritunggal. Dengan demikian, Putera Allah menyampaikan cara ada-Nya sendiri dalam Tritunggal dalam kodrat manusiawi-Nya. Baik dalam jiwa-Nya maupun dalam tubuh-Nya, Kristus menyatakan kehidupan Tritunggal Mahakudus secara manusiawi.[44] Paus Pius XII menegaskan bahwa:
Sabda yang menjelma itu bukan mengambil tubuh bayangan seperti pandangan bidaah pada Gereja kristen dahulu melainkan Ia telah mempersatukan kodrat insani, yang diterima dalam rahim Perawan Maria dari Roh Kudus, dalam kesatuan-Nya dalam kodrat ilahi dan kodrat manusiawi. Kodrat manusiawi yang dipersatukan Sabda Tuhan dalam diri-Nya itu tidak memiliki kekurangan apa pun.[45]
Dalam Konsili Vatikan II, dalam dokumen Gaudium et Spes juga ditegaskan:
Sebab Dia, Putera Allah, dalam penjelmaan-Nya dengan cara tertentu telah menyatuhkan diri dengan setiap orang. Ia telah bekerja memakai tangan manusiawi, Ia berpikir memakai akal budi manusiawi, Ia bertindak atas kehendak manusiawi dan Ia mengasihi dengan hati manusiawi. Ia telah lahir dari Perawan Maria, sungguh menjadi salah seorang dari antara kita, dalam segalanya sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa.[46]
Dengan mengetahui bahwa Sabda yang menjadi daging itu menerima tubuh sejati, dengan memiliki semua sifat manusiawi terutama cinta-Nya yang berkobar, maka dapat juga dilihat bahwa Yesus mempunyai hati seperti manusia. Namun karena hati-Nya telah dipersatukan dengan kodrat ilahi secara hipostasis, maka hati-Nya yang berdetak karena cinta dikehendaki oleh kedua kodrat-Nya.[47]
Sabda yang menjelma dan mengambil kodrat manusiawi itu, bukan saja mengambil bentuk hati batiniah tetapi juga mengambil hati biologis (badani), sehingga hati-Nya dapat menderita dan ditikam di salib.[48] Peristiwa penikaman lambung ini akan memberikan makna yang mendalam bagi umat manusia karena peristiwa itu menyimpan rahasia penyelamatan.
Teks Kitab Suci yang menunjukkan misteri penebusan hati Kristus ialah kisah lambung Yesus yang ditikam oleh para serdadu (Yoh 19:31-37). Kisah lambung Yesus yang ditikam itu, dilihat oleh penginjil Yohanes sebagai sebuah peristiwa penting, sebab peristiwa tersebut sebenarnya mau memperlihatkan arti tersembunyi dari wafat Yesus.[49]
Alasan yang cukup membuktikan bahwa Yesus telah wafat ialah lambung-Nya ditikam oleh para serdadu. Para serdadu tidak mau mematahkan kaki Yesus karena mereka tahu bahwa Ia telah wafat. Wafatnya Yesus menjadi alasan kuat bagi mereka untuk menikam lambung-Nya. Peristiwa yang dilakukan oleh para serdadu itu ternyata membawa makna yang mendalam bagi seluruh umat manusia.[50]
Makna dan arti wafat Yesus diperlihatkan oleh Yohanes dengan arti lambang yaitu bahwa lambung Yesus ditikam dan dari dalamnya keluarlah air dan darah. Peristiwa itu mengingatkan Yohanes akan teks-teks dalam Kitab Suci Perjanjian Lama yang menguraikan arti simbolis dari air dan darah yang telah diramalkan oleh para nabi.[51]
Peristiwa keluarnya air dan darah dari lambung Yesus adalah suatu peristiwa yang memiliki makna mendalam. Namun untuk mengerti makna yang ada di dalamnya, tidak bisa hanya dipahami secara anatomis biologis, walaupun dari sudut biologis tentu saja mengandung suatu kebenaran. Tetapi yang mau dikatakan oleh Yohanes ialah bahwa peristiwa mengalirnya air dan darah dari lambung Yesus adalah sebuah peristiwa rohani, peristiwa pencurahan rahmat dan karunia bagi Gereja sepanjang masa.[52]
Yohanes melukiskan peristiwa Yesus wafat yang diikuti oleh peristiwa mengalirnya air dan darah, sebenarnya mau mengungkapkan hal yang amat penting dan amat simbolis. Peristiwa mengalirnya “air” melambangkan bahwa apa yang menjadi dambaan segenap umat manusia sejak dahulu, kini sudah terpenuhi dengan sempurna. Air yang mengalir dari lambung Penebus adalah penegasan kerinduan akan sumber air bangsa Yahudi dari Messias. Dan sekarang “Terbukalah sumber air yang dinantikan itu sebagai lambang mengalirnya rahmat dan hidup Allah secara berlimpah-limpah”. Sumber keselamatan itu adalah batin (hati) Kristus sendiri.[53]
Mengenai lambang “darah", Yohanes menekankan bahwa rahmat dan hidup baru tidak hanya diberikan dalam air, tetapi juga melalui darah. “Inilah Dia yang datang dengan air dan darah, yaitu Yesus Kristus, bukan saja dengan air, tetapi dengan air dan darah” (1Yoh 5:6-8). Peristiwa penikaman lambung Yesus membuktikan bahwa Ia tidak datang hanya dengan air, seperti yang diramalkan oleh Nabi Zakaria (14:8), melainkan juga dengan darah. Namun, pemberian air dan darah harus dilalui dengan sengsara dan wafat di salib. Seperti lambang air, darah juga merupakan pelimpahan hidup ilahi yang benar.[54]
Dengan peristiwa mengalirnya air dan darah dari lambung Yesus, hidup kekal kini secara penuh telah diberikan kepada manusia. Darah sebagai lambang pelimpahan hidup ilahi kini dicurahkan kepada manusia dari lambung Yesus. Namun, ada nuansa yang lain dari lambang darah itu. Lambang darah juga merupakan simbol dari suatu perjanjian yang baru. Perjanjian yang telah dibuat oleh Allah dengan bangsa Yahudi lewat Musa kini disempurnakan oleh Yesus, Sang Putera Allah yang menjelma. Dengan darah-Nya Yesus telah mengadakan suatu perjanjian baru dan kekal sebagaimana Ia katakan pada Perjamuan Malam Terakhir.[55] Singkatnya, dapat dikatakan bahwa lambung Yesus yang ditikam dan mengeluarkan air dan darah menunjukkan arti batiniah dari wafat Yesus. Manusia Yesus yang wafat menjadi sumber Roh Kudus dan keselamatan dan menjadi sumber hidup yang benar dan kekal, yang terjadi dalam persatuan-Nya dengan Allah.[56] Lambung Yesus itulah sumber dari air kehidupan dan perjanjian baru yang membawa pembebasan bagi manusia dari segala kuasa dosa dan penindasan.[57]
Para Bapa Gereja menafsirkan aliran air dan darah yang keluar dari lambung Kristus itu sebagai lambang kelahiran Gereja secara mistik. Seperti Hawa pertama diambil dari tulang rusuk Adam pada waktu Adam tidur, demikian pula Hawa Baru, bunda semua yang hidup yaitu Gereja Kudus, diambil dari lambung Yesus, Adam Baru pada waktu Dia mati di salib. Lebih lanjut, para Bapa Gereja melihat bahwa peristiwa mengalirnya air dan darah dari lambung Penebus merupakan lambang kelahiran dua sakramen agung yaitu Ekaristi dan Pembaptisan.[58] Orang hanya bisa selamat kalau dibersihkan dan menyambut Tubuh dan Darah Tuhan. “Jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Yoh 3:5). “Barang siapa minum darah-Ku, ia mempunyai hidup kekal” (bdk. Yoh 6:54). Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa hati Yesus itu merupakan sumber sakramen, sumber keselamatan dan sekaligus sumber Gereja, yang telah dibersihkan dengan air dan dikuduskan dengan darah-Nya (bdk. Ef 5:26).[59]
Selain melukiskan peristiwa mengalirnya air dan darah dari lambung Yesus, Yohanes juga memberi makna dan arti simbolis dari “hati dan lambung Yesus yang terbuka” karena ditikam.[60] “Mereka akan memandang kepada Dia yang telah mereka tikam” (Yoh 19:37). Kutipan ini diambil oleh Penginjil Yohanes dari Kitab Zakaria: (12:10) “Aku akan mencurahkan roh pengasihan dan roh permohonan atas keluarga Daud dan atas penduduk Yerusalem, dan mereka akan memandang kepada dia yang telah mereka tikam, dan akan meratapi dia seperti orang menangisi anak tunggal”. Menurut Yohanes (19:37), nubuat Zakaria ini terwujud dalam penikaman lambung Yesus.[61]
Bagi Yohanes arti dari hati dan lambung Yesus yang terbuka telah ditegaskan oleh Nabi Zakaria (13:1) yang mengatakan bahwa “mereka akan memandang sumber yang terbuka bagi penduduk Yerusalem”. Sumber yang terbuka itu ialah lambung Yesus yang telah ditikam. Dari dalam hati dan lambung terbuka itu mengalirlah Roh Kudus, pemberian Yesus di salib.[62]
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Yohanes mengenai “apa yang akan mereka pandang” itu merupakan penggenapan nubuat para nabi. “Sumber yang terbuka bagi Yerusalem” dan “air Kehidupan dari Yerusalem” mau mengatakan ciri messianik dari penantian bangsa Israel. Bangsa Israel sangat mengharapkan bahwa Messias akan segera datang dan dapat melegakan dahaga hati mereka akibat dosa dan penindasan masa lalu yang terus membayangi hidup mereka. Lambung Yesus menjadi sumber air kehidupan yang membawa pembebasan bagi mereka dari segala kuasa dosa dan penindasan.[63] Singkatnya, dalam hati dan lambung Yesus, Yohanes melihat seluruh karya keselamatan dinyatakan.[64]
Para pendoa mistik abad pertengahan melihat hati dan lambung Yesus yang terbuka itu bukanlah hanya sebagai pintu gerbang terbuka yang memberi jalannya Roh Kudus dan air kehidupan, tetapi juga sebagai jalan bagi manusia untuk masuk ke dalam hati Yesus. Melalui hati dan lambung terbuka itulah manusia dapat masuk ke dalam hati Yesus, sebab hati-Nya dipandang sebagai tempat simpanan segala harta rohani.[65]
2. Alasan, Nilai dan Kekhasan Devosi kepada Hati Kudus Yesus
2.1 Alasan Devosi kepada Hati Kudus Yesus
Alasan pertama dan utama dari devosi kepada Hati Kudus Yesus menurut ensiklik HA adalah cinta kasih Allah Tritunggal yang tiada taranya bagi umat manusia. Cinta Allah itu dilambangkan secara nyata dalam diri Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia yaitu dalam diri Yesus Kristus teristimewa dalam hati-Nya yang terbuka di salib karena ditikam dengan tombak (bdk. Yoh 19:31-37).[66]
Peristiwa lambung ditikam dan hati Yesus terbuka melambangkan pemberian cinta tanpa syarat. Hati Allah hadir dalam diri Yesus sebagai Allah Putera. Ini berarti hati Yesus menggemakan hati Allah. Jawaban manusia terhadap cinta Allah itu ialah berbakti kepada-Nya. Salah satu bentuknya itu ialah sembah bakti atau devosi kepada Hati Kudus Yesus. Hati Kudus Yesus merupakan hati Allah sebab Yesus adalah pribadi kedua dari Allah Tritunggal.[67]
Lebih lanjut ensiklik menegaskan bahwa devosi kepada Hati Kudus Yesus merupakan devosi umat yang lahir dari ungkapan iman dan kasih kepada Allah. Sebagai ungkapan iman dan kasih, devosi itu dihargai terutama karena telah dianjurkan oleh Tuhan sendiri, dalam penampakkan kepada St. Margaretha Maria Alacoque. Selain itu, devosi kepada Hati Kudus Yesus berakar dari Kitab Suci dan Tradisi. Dasar biblis dan teologis devosi itu menjadikannya diyakini umat sebagai berasal dari Tuhan sendiri. Hirarki Gereja juga telah memberikan izin untuk terus mempraktekkan devosi tersebut melalui Magisteriumnya.[68]
Devosi kepada Hati Kudus Yesus juga telah dikenal oleh umat selama berabad-abad dan terus berkembang. Dengan itu devosi kepada Hati Kudus Yesus menjadi harta pusaka Gereja yang amat kuno dan terhormat. Dalam beberapa lingkungan umat, devosi tersebut telah menjadi bagian dari hidup spiritual mereka. Pada prakteknya umat meyakini bahwa devosi tersebut adalah suatu yang positif dan suci, yang dapat memperkaya spiritualitas hidup mereka.[69]
Selain sudah lama di dikenal umat beriman, devosi kepada Hati Kudus Yesus merupakan devosi yang sangat sederhana. Kesederhanaanya tampak dari cara praktek dan pelaksanaannya.[70]
Alasan lain adalah bahwa devosi kepada Hati Kudus Yesus masih sangat aktual pada zaman sekarang.[71] Pada zaman sekarang ini, banyak orang yang dikuasai oleh nafsu dan kepentingan pribadi. Keadaan itu membuat cinta antara makluk ciptaan semakin mengikis. Sebaliknya, masih ada orang yang haus akan cinta kasih yang tulus dan murni. Situasi ini membuat umat beriman yakin bahwa manusia harus kembali kepada Sang Cinta yaitu Yesus. Cinta Kristus yang dilambangkan dengan hati-Nya menjadi pola setiap pelayanan umat beriman.[72]
Nilai-nilai yang terkandung di dalam devosi kepada Hati Kudus Yesus ialah bahwa devosi kepada Hati Kudus Yesus dapat memberikan pemahaman dan pengertian kepada umat beriman tentang Gereja, Tubuh Mistik Kristus.
Yang kedua ialah merenungkan lambung Yesus yang terluka di salib dapat membangkitkan rasa hormat yang mendalam akan Ekaristi; sebab secara teologis diyakini bahwa darah dan air yang mengalir dari lambung Yesus menandakan kelahiran Sakramen Ekaristi dan permandian. Gereja dihidupi dan disemangati oleh Sakramen Ekaristi, sebagai sumber kehidupan umat beriman. Kaitannya dengan devosi kepada Hati Kudus Yesus adalah Misa Jumat Pertama, adorasi, kalasanta merupakan penghormatan kepada Sakramen Mahakudus. Dengan demikian, dapat dikatakan devosi kepada Hati Kudus Yesus dapat membawa umat beriman kepada penghayatan Ekaristi.[73]
Yang ketiga ialah kaitan antara devosi kepada Hati Kudus Yesus dengan hidup rohani umat beriman. Pengaruh devosi kepada Hati Kudus Yesus bagi umat beriman ialah hidup rohani umat beriman ditumbuhkan dan dimantapkan. Hal itu terjadi karena devosi kepada Hati Kudus Yesus mengarahkan umat beriman untuk mengenal essensi hidup kristen yang mengarah pada Kristus Yesus.[74]

4.3 Kekhasan dalam Devosi kepada Hati Kudus Yesus
Devosi kepada Hati Kudus Yesus sangat menekankan kasih Kristus, yaitu Allah yang telah menjadi manusia. Karena itu, devosi kepada Hati Kudus Yesus boleh dikatakan bersifat Kristo-sentris atau Yesus-sentris, namun sekaligus antropo-sentris. Yesus sungguh-sungguh Allah, Dia memperlihatkan misteri Allah yang tersembunyi, sekaligus mewahyukan kebenaran-kebenaran tentang manusia. Hanya melalui misteri Kristus umat beriman dapat memahami Allah, sekaligus dapat memahami manusia lainnya.[75] Dengan menekankan Kristo-sentris atau Yesus-sentris, devosi itu membawa umat beriman pada spiritualitas yang memusatkan perhatian kepada Kristus.[76]
Dalam devosi kepada Hati Kudus Yesus, objek yang dituju oleh umat beriman adalah Yesus Kristus sebagai Putera Allah. Hal ini membedakan devosi itu dengan devosi lain, misalnya devosi kepada orang-orang kudus. Dalam devosi kepada orang kudus, umat beriman memohon pertolongan doa dari mereka sebagai mediasi supaya sampai pada Yesus; sedangkan dalam devosi kepada Hati Kudus Yesus, umat beriman langsung tertuju kepada Kristus sebagai Putera Allah. Dengan demikian, dengan berdevosi kepada Hati Kudus Yesus, umat beriman tidak hanya memohon pertolongan dan berkat Yesus, tetapi juga menyembah dan menghormati-Nya sebagai Allah Putera.[77]
3. Tujuan Devosi kepada Hati Kudus Yesus
3.1 Silih atau Reparatio
Silih atau reparatio memiliki banyak arti. Untuk memahami makna silih dalam devosi kepada Hati Kudus Yesus harus dilihat dari situasi manusia yang berdosa. Yang dimaksud dengan manusia berdosa ialah tidak menaruh perhatian terhadap Allah dan cinta-Nya. Allah Bapa selalu memberikan cinta-Nya kepada manusia, namun manusia tidak membalas cinta Allah itu dan malah menghina-Nya dengan dosa-dosanya. Penghinaan terhadap Allah dan cinta-Nya itu membuat relasi manusia dan Allah menjadi retak dan bahkan hancur[78]. Oleh karena itu, untuk memulihkan relasi manusia dengan Allah, Allah sendiri turun ke dunia dalam diri Yesus Kristus. Melalui sengsara dan wafat-Nya di salib, Ia memperlihatkan suatu tindakan silih atas dosa manusia dan dosa seluruh ciptaan. Dengan demikian silih atau reparatio yang pertama dan utama atas penghinaan dan dosa manusia terhadap Allah Bapa ialah Kristus sendiri.[79]
Dalam penampakan kepada Santa Margaretha Maria Alacoque, Yesus meminta agar Hati Kudus-Nya dihormati dengan penerimaan diri-Nya dalam Sakramen Mahakudus dan dengan melakukan pemulihan untuk semua penghinaan yang telah dilakukan kepada Hati Kudus-Nya. Melalui devosi kepada Hati Kudus Yesus, umat beriman diajak untuk kembali kepada pangkuan kasih-Nya. Dengan demikian devosi kepada Hati Kudus Yesus menjadi suatu pemulihan bagi dosa-dosa manusia. Dengan itu martabat hidup manusia yang telah dinodai oleh dosa dapat dipulihkan dan ditebus kembali dengan cara kembali kepada kasih-Nya dan menyatakan sikap sembah-bakti kepada Hati Kudus Yesus.[80]
3.2 Lebih Mencintai Yesus
Datanglah kepada-Ku, kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Ku-pasang dan belajarlah daripada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati. Maka hatimu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Ku-pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan (Mat 11:28-30).
Kasih-Nya yang begitu besar menjadi alasan pokok bagi orang yang datang dan mengharapkan pertolongan-Nya. Dia sendiri berkata: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; dan ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Luk 11:9).
Menghadapi berbagai macam persoalan yang terjadi dalam dunia dewasa ini, Paus Pius XII tidak segan-segan menegaskan bahwa:
Dimanakah kita harus mencari obat untuk sekian banyak malapetaka, yang mengacaukan pribadi-pribadi, keluarga-keluarga, bangsa-bangsa dan seluruh dunia? Obat itu harus kita cari dalam kebaktian kepada Hati Kudus Yesus! Tak ada ibadat lain yang dapat menandingi kebaktian kepada Hati Kudus Yesus, bila kita ingin memperoleh penawar bagi kesulitan kita zaman sekarang.[81]
Lebih lanjut Paus Pius XII mengatakan:
Lihatlah sekarang bersinar tanda yang lain, tanda yang memberikan harapan banyak dan ilahi di hadapan kita. Sinar itu adalah Hati Kudus Tuhan Yesus. Kita harus menaruh harapan kita di atas-Nya, daripada-Nya akan mendatangkan keselamatan.[82]
Penegasan ini meyakinkan kita bahwa hati Yesus adalah sumber kepenuhan dan tumpuan harapan bagi banyak orang. Hati-Nya yang amat Kudus melambangkan kedalaman batin dan cinta-Nya yang mengundang umat beriman untuk menaruh harapan kepada-Nya.
6. Bentuk-bentuk Devosi kepada Hati Kudus Yesus
Devosi kepada Hati Kudus Yesus yang selama ini telah dihidupi dan dikembangkan dalam kegiatan devosi umat ialah sebagai berikut: Pesta Hati Kudus Yesus, Jam Kudus, Ekaristi Jumat Pertama dalam bulan, Adorasi, Misa Votif dan Komuni Silih, dan Litani kepada Hati Kudus Yesus.
7. Rangkuman
Devosi kepada Hati Kudus Yesus memiliki dasar teologis dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama, dasar teologis devosi kepada Hati Kudus Yesus dapat dilihat dari umat Israel yang menggunakan spirilitualitas hati untuk mengungkan simbol relasi manusia dengan Allah dan sebaliknya. Dalam hal ini, Allah dilihat sebagai Allah yang penuh cinta dan kasih setia. Terjalinnya relasi itu diungkapkan dalam bahasa simbolis seperti cinta seorang “Bapa” atau seorang “Ibu” terhadap anaknya. Maka, hati yang menerimanya juga haruslah hati yang bersih tanpa cacat. Israel berdosa dan hatinya kurang bersatu dengan Allah, maka Allah berjanji akan memberikan hati baru kepada mereka.
Kitab Suci Perjanjian Lama juga, ditandai dengan Israel merindukan Messias yang datang yang membawa hati yang baru dan setia serta berpaut pada Allah. Para nabi meramalkan bahwa akan datang Messias yang membawa air kehidupan bagi penduduk Yerusalem (bdk. Za 14:8).
Segala ramalan dalam Perjanjian Lama terpenuhi secara sempurna dalam diri Yesus Kristus (Perjanjian Baru). Dia hadir menjadi manusia walaupun tidak meninggalkan keilahian-Nya. Karya dan penebusan-Nya dilakukan-Nya atas dasar cinta yang dilambangkan dengan hati-Nya. Peristiwa yang paling nyata atas cinta-Nya itu ialah bahwa Dia rela wafat di salib dan dari lambung-Nya yang ditikam mengalirlah air dan darah. Air melambangkan pencurahan air kehidupan dan darah merupakan lambang pemberian hidup ilahi dan kekal. Sedangkan hati dan lambung yang terbuka melambangkan pencurahan rahmat yang berlimpah-limpah sepanjang masa.
Jawaban umat beriman atas cinta Allah itu ditunjukkan dengan sembah-bakti terhadap Hati Kudus Yesus. Penyembahan terhadap Hati Kudus Yesus diyakini sebagai penyembahan dan penghormatan terhadap seluruh pribadi Yesus sebagai Allah Putera.
Tujuan dari devosi kepada Hati Kudus Yesus ialah silih atas dosa-dosa manusia, lebih mencintai Yesus. Selain itu ialah anugerah kepenuhan harapan, anugerah keselamatan dan kepenuhan janji Hati Kudus Yesus.
Bentuk-bentuk dari devosi ini adalah Pesta Hati Kudus Yesus, Kalasanta atau Jam Kudus, Misa Jumat pertama dalam bulan dan komuni silih. Bentuk lainnya adalah Litani, Adoratio atau Astuti dan Misa Votif.
1. Rangkuman Umum
Devosi kepada Hati Kudus Yesus bersumber dari pengalaman akan kasih Allah. Allah yang mengasihi tanpa syarat itu ditanggapi oleh manusia dalam bentuk liturgis dan sembah-bakti atau penyembahan. Motivasinya adalah keinginan untuk memberi silih atas cinta kasih Kristus yang sering tidak dibalas oleh manusia. Dengan ini boleh dikatakan bahwa devosi kepada Hati Kudus Yesus adalah jawaban umat beriman atas cinta kasih Kristus yang dilambangkan dengan Hati Kudus-Nya.
Secara historis devosi kepada Hati Kudus Yesus muncul dan berkembang pada abad pertengahan. Sejak itu devosi tersebut terus berkembang dan dipraktekkan di kalangan umat hingga dewasa ini. Melihat perkembangan dan motivasinya yang baik, Gereja menerima dan mendukungnya. Ada dua hal penting wujud dukungan Gereja itu yakni: pertama bahwa Gereja menerima kebaktian kepada Hati Kudus Yesus dalam liturgi resmi; kedua bahwa Gereja mendukung dan menghimbau agar devosi kepada Hati Kudus Yesus dipandang sebagai sarana yang berdaya guna untuk membangun relasi dengan Allah. Gereja memandang bahwa keberadaan devosi kepada Hati Kudus Yesus dapat membangun kelestarian hidup doa dan sangat dibutuhkan Gereja sepanjang masa.[83]
Dasar teologis devosi kepada Hati Kudus Yesus ialah cinta Allah yang tiada taranya kepada manusia. Cinta Allah kepada manusia itu telah dimulai dari Perjanjian Lama dan dipenuhi dalam Perjanjian Baru. Perjanjian Lama menggambarkan bahwa cinta Allah itu seperti cinta seorang “Bapa” atau seorang “Ibu” terhadap anak-Nya (Israel) atau cinta seorang “Suami” terhadap pengantin barunya. Ini semua mau mengungkapkan bahwa cinta Allah kepada umat-Nya bukanlah cinta yang mengawang-awang atau cinta yang jauh dari mereka (Israel) tetapi cinta Allah hadir dan ada bersama mereka. Namun untuk menerima cinta Allah itu umat Israel dituntut untuk memiliki disposisi hati yang bersih dan taat kepada Allah.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, wujud cinta Allah kepada manusia dinyatakan dalam bentuk misteri inkarnasi Allah. Allah yang Mahatinggi turun ke dunia dengan menjelmakan diri-Nya menjadi manusia lemah. Wujud penjelmaan tersebut dinyatakan dalam diri Yesus Kristus yang mengambil kodrat manusia sekalipun tidak meninggalkan kodrat ilahi-Nya. Dengan kemanusiaan dan keilahian Kristus itu, Ia menghadirkan gambaran hati Allah yang tak kelihatan menjadi kelihatan. Ia hadir membawa cinta Allah yang dipersatukan dalam diri-Nya. Puncak pemberian cinta-Nya kepada Bapa dan kepada manusia ialah bahwa Ia rela menderita, wafat dan disalibkan.
Peristiwa wafat-Nya di salib memberikan suatu makna yang sangat mendalam bagi Gereja sepanjang masa. Penginjil Yohanes melukiskan bahwa peristiwa wafat-Nya di salib telah memperlihatkan nilai Hati Kudus Yesus sebagai lambang cinta-Nya kepada Manusia. Dia menuliskan bahwa “lambung Yesus ditikam dengan tombak oleh para serdadu serta mengalir darah dan air” (Yoh 19:34-37). Dengan demikian terpenuhilah Sabda Yesus; “Dari dalam hati-Nya mengalirlah aliran-aliran air yang memberi kehidupan” (Yoh 7:38). “Air” yang mengalir dari lambung Yesus itu melambangkan pencurahan air kehidupan dan “darah” melambangkan pemberian hidup ilahi dan kekal. Selain itu Yohanes juga memperlihatkan arti “hati dan lambung Yesus yang terbuka”. Hati dan lambung Yesus yang terbuka itu melambangkan pencurahan Roh Kudus dan rahmat yang berlimpah-limpah sepanjang masa. Dengan ini mau dikatakan bahwa cinta Allah yang tiada taranya kepada manusia diperlihatkan dalam karya penebusan Kristus khususnya dalam misteri paskah.
Dengan pendasaran teologis di atas, devosi kepada Hati Kudus Yesus memiliki landasan yang kuat bagi kegiatan devosional umat. Maksudnya ialah bahwa devosi kepada Hati Kudus Yesus bukanlah suatu gerakan rohani yang tanpa makna dan tujuan atau hanya berdasar pada perasaan afeksi-emosi pribadi belaka, tetapi suatu gerakan devosional yang berlandaskan Kitab Suci.
Jawaban manusia atas cinta Allah itu ialah pelaksanaan pesta Hati Kudus Yesus, Jam Kudus, Ekaristi Jumat Pertama dalam bulan, Adorasi, Misa Votif dan Komuni Silih. Selain itu, jawaban manusia atas cinta Allah itu juga dapat disampaikan melalui doa Litani kepada Hati Kudus Yesus serta gerakan-gerakan kerohanian lainnya.
Dengan memahami dasar teologis devosi kepada Hati Kudus Yesus serta melaksanakannya secara baik dan benar, devosi ini akan mengasilkan “buah-buah” yang berguna bagi umat beriman. Sebagaimana dikatakan dalam ensiklik HA, “buah-buah” itu ialah silih atas dosa-dosa, lebih mencintai Yesus, bersatu dengan Kristus, lebih mencintai Kristus, anugerah kepenuhan harapan, anugerah keselamatan dan kepenuhan janji Hati Kudus Yesus.
2. Relevansi

Berbicara mengenai devosi kepada Hati Kudus Yesus di Indonesia, harus dilihat dari sejarah masuknya devosi tersebut ke Indonesia. Devosi Hati Kudus Yesus di Indonesia telah ada sebelum ensiklik HA dikeluarkan. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya Candi Hati Kudus Yesus di Ganjuran (Jawa Tengah) oleh Schmutzer[84] pada tahun 1927. Candi tersebut diberkati oleh Mgr A. van Velsen SJ pada tanggal 11 Februari 1930. Sejak itu candi Hati Kudus tersebut menjadi tempat ziarah umat beriman hingga sekarang.[85] Itulah bukti nyata bahwa devosi kepada Hati Kudus Yesus sudah lama berada di Indonesia.
Selain itu, devosi kepada Hati Kudus Yesus di Indonesia juga banyak dipopulerkan oleh kongregasi-kongregasi dan terekat-tarekat religius. Kongregasi dan terekat-tarekat religius itu, seperti Imam-imam Hati Kudus Yesus (Sacerdotal a Sacro Jesu), diwajibkan oleh pendirinya Pastor Leo Yohanes Dehon untuk berdevosi kepada Hati Kudus Yesus. Selain mereka, masih ada lagi yang lain, seperti Missionarii a Sacro Corde (MSC), Bruder-bruder Fransiskus (Francis Charitas), Putri-putri Bunda Hati Kudus (PBHK), dan Suster-suster Hati Kudus (HK). Dengan masuknya mereka ke Indonesia, devosi tersebut dipraktekkan dan juga diperkenalkan kepada umat. Saat ini devosi tersebut sangat berkembang di Semarang, Menado dan juga di tempat lain.[86]
3. Refleksi
Ibadat adalah perayaan pengungkapan iman umat. Untuk dapat mengungkapkan ibadat dengan baik dan benar, seorang perlu memahami nilai iman yang ada dalam perayaan itu. Fenomena yang ada di Gereja Indonesia pada umumnya bahwa kebanyakan umat Katolik hidup sederhana, baik dilihat dari segi hidup keseharian maupun dari segi pengetahuan. Hal itu mempengaruhi cara beriman dan cara beribadat umat. Masalah yang sering muncul adalah umat sering tidak memahami makna dan arti yang terkandung dalam liturgi. Kekurangpahaman itu membuat liturgi dalam Gereja dirasa monoton, formal, kaku, menonjolkan intelektual dan membosankan. Apa yang mereka dambakan sering tidak terpenuhi seluruhnya dalam liturgi.
Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi apa yang didambakan oleh umat adalah melakukan devosi-devosi populer. Secara positif dapat dikatakan bahwa devosi-devosi populer merupakan sarana yang baik untuk membangun dan menopang iman umat dan dapat dipandang sebagai kesadaran manusia yang rindu mencari wajah Allah yang diungkapakan dengan syukur, doa, litani, novena dan gerakan-gerakan kerohanian yang ditujukan untuk menghormati, memuji dan memuliakan Allah. Secara negatif dapat juga dikatakan bahwa devosi bisa membuat orang jatuh pada magi, takyul atau pun meninggalkan liturgi resmi Gereja.
Dalam devosi Hati Kudus Yesus yang berkembang di Indonesia terdapat ungkapan kerinduan umat seperti yang disebutkan di atas. Kemungkinan besar dengan ungkapan yang sifatnya afektif umat dapat menemukan wajah Allah.[87] Dalam kerangka ini boleh dikatakan bahwa devosi kepada Hati Kudus Yesus mempunyai peran penting untuk membawa orang masuk dalam pengalaman akan misteri Allah dan karya penyelamatan-Nya. Hal itu dikarenakan bahwa devosi kepada Hati Kudus Yesus merupakan salah satu sikap penyerahan diri ke dalam misteri cinta Allah. Dengan demikian orang dituntun untuk semakin beriman dan mampu menangkap maksud Allah yang berkarya dalam pengalaman dan peristiwa hidup setiap hari.
Pengalaman akan misteri Allah dan kemampuan melihat peristiwa-peristiwa kehidupan dengan mata iman mendorong orang yang berdevosi kepada Hati Kudus Yesus untuk hidup benar. Dengan demikian devosi itu tidak hanya tinggal dalam perasaan tetapi juga sampai pada kemauan atau kehendak untuk semakin dekat dengan Allah dan bersolider dengan sesama.
Bagi saya sendiri, refleksi akan devosi kepada Hati Kudus Yesus sangatlah membantu untuk semakin mengenal peran devosi dalam menopang kehidupan iman Katolik. Salah satu keunggulan devosi kepada Hati Kudus Yesus adalah umat beriman diajak untuk merenungkan kasih Allah yang begitu besar terhadap umat-Nya melalui inkarnasi-Nya dalam diri Yesus Kristus dan peristiwa misteri paskah.


[1] Konsili Vatikan II, “Konstitusi Tentang Liturgi Suci” (SC), no. 12 dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993). Selanjutnya akan kami singkat dengan SC dan diikuti dengan nomor yang dikutip.
[2] SC no. 13.
[3] Devosi berasal dari kata Latin yakni devotio dari kata kerja devovere, yang berarti kebaktian, pengorbanan, penyerahan, sumpah, kesalehan, cinta bakti. Maka menurut arti katanya, devosi menunjukkan sikap hati dan perwujudannya, dalam mengarahkan diri kepada seseorang atau sesuatu yang dijunjung tinggi dan dicintai. Sedangkan dalam tradisi kristiani, devosi biasa dipahami sebagai bentuk penghayatan dan pengungkapan iman kristiani di luar liturgi resmi. [Lihat Martasudjita, Pengantar Liturgi I Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 143; bdk. C. Groenen, Mariologi: Teologi dan Devosi (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 150].
[4] A. Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid I (Jakarta: Yayasan Ciptaloka Caraka, 1992), hlm. 19
[5] A. Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid I…, hlm. 19.
[6] Selanjutnya akan kami singkat ensiklik HA untuk penulisan dalam teks dan HA dikuti dengan nomor yang dikutip untuk penulisan pada catatan kaki.
[7] Sekretariat Kerasulan Doa, Hati Kudus Kristus: Kebaktian …, hlm. 22.
[8] Paus Pius XII, Ensiklik Haurietis Aquas (Kebaktian kepada Hati Kudus Yesus), 1956, diterjemahkan oleh A. Setiardja dalam Rohani IV/6 (Juni 1957), Ambarawa: Rohani, 1957, no. 2.
[9] G.P. Sindhunata, “Joseph Ratzinger dan Devosi Hati Kudus: Hati yang Hancur karena Cinta”, dalam Utusan …, hlm. 5.
[10] HA no. 6.
[11] Pragmatis artinya sesuatu yang bersifat praktis dan sejauh berguna bagi umum. [Lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1988), hlm. 698.]
[12] HA no. 7.
[13] HA no. 10.
[14] HA no. 62.
[15] HA no. 62.
[16] Dalam liturgi dan Kitab Suci, kata hati dipakai dalam arti kiasan dan lebih menunjuk pada pribadi. Kata hati tidak mutlak melambangkan kehidupan afektif, melainkan juga sebagai sumber berbagai segi kepribadian manusia. Hati juga dimengerti sebagai tempat yang tersembunyi. Di sanalah tempat dan sumber-sumber pikiran, iman, paham, semangat, bahkan kekerasan. Hati adalah pusat keputusan-keputusan yang menentukan, kesadaran moral, hukum yang tidak tertulis; tempat pertemuan dengan Allah, satu-satunya yang dapat menyelami lubuk hati. Hati menjadi tempat kediaman Roh Anak Allah, Roh yang menyatakan kepada manusia kasih Allah serta mendorongnya untuk berseru Abba kepada Allah. [Lih. Bert van der Heidjen, Cinta …, hlm. 60-61.]
Semua pembicaraan dan refleksi mengenai kebaktian kepada Hati Kudus Yesus selalu harus dimulai dengan arti kata “hati” itu sendiri. Dalam kebanyakan bahasa modern dipakai kata yang berbeda-beda. Misalnya dalam bahasa Inggris: heart, Perancis: il coeur, Jerman: Herz, Italia: cuore. Semuanya ini berasal dari kata Latin: cor-cordis. Kata hati memiliki makna yang sangat luas. Makna harafiah kata hati menurut Bert van der Heijden adalah “isi rongga perut” atau beten (batin, Indonesia). Dalam bahasa Yunani kata hati dipakai kata “Kardia”, dan dalam bahasa Latin adalah “Cor” yang keduanya berarti jantung. Dalam bahasa Indonesia dipakai kata hati. [Lih. Bert van der Heijden, Cinta …, hlm. 8.]
Walaupun dalam masing-masing kebudayaan tidak selalu menunjuk pada bagian badan yang sama, namun arti semua kata itu sebenarnya tetap sama. Hati berarti pusat dan sumber hidup pribadi manusia, suatu titik konsetrasi pribadi dan pusat hidup batin. Dari hati itu juga timbul hidup pengertian, perasaan, dan kesusilaan. Dalam hati itu terasakan kebaikan, keberanian, dan cinta kasih. Kata hati itu menunjuk inti diri kita yang sering disebut inti hati kita. Pusat pribadi dan batin itu dirasakan juga seolah-olah mempunyai tempatnya sendiri dalam “pusat” badan yaitu di rongga perut, atau dalam jantung, atau dalam hati. Oleh karena bagian-bagian itu dihayati dalam masing-masing kebudayaan sebagai inti pusat badan dan pusat batin, maka hati ditempatkan di sana. [Lih. Bert van der Heijden, Cinta…, hlm. 8.]
Hati adalah pusat kepribadian Yesus, karena hati Yesus sendiri merupakan pusat perasaan, kebebasan dan kesadaran-Nya. Dari dalam hati-Nya, Yesus menyerahkan diri kepada misteri Allah dan karya keselamatan-Nya demi kehidupan manusia. Maka hati Yesus adalah lambang unggul cinta kasih Ilahi. [Lih. Bert van der Heijden, Cinta…, hlm. 8.]
[17] Bdk. Bernard Haring, Hati Kudus Yesus, Kemarin, Hari ini, dan Selama-lamanya (Jakarta: Obor, 2002), hlm. 3-4.
[18] Hipostasis adalah kesatuan antara keallahan dan kemanusiaan yang penuh dalam satu pribadi (ilahi) Yesus Kristus, yang terjadi ketika Sabda menjadi daging. [Lih. Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 103.]
[19] Carthusian Monks, Ancient Devotions to the Sacred Heart of Jesus (London: Burns Oates and Washbourne, 1895), hlm. vii.
[20] Bernard Häring Heart of Jesus: Symbol of Redeeming Love (New: York St. Louis Liguori Publication, 1983, hlm. 44.
[21] Bernard Häring, Heart…, hlm. 14.
[22] Bert van der Heijen, Cinta…, hlm. 11; bdk. HA no. 14; bdk. juga Alban J. Dachauer (ed.), The Sacred Heart: A Commentary…, hlm. 45.
[23] Bernard Häring, Heart…, hlm. 16; bdk. HA no. 17.
[24] Bernard Häring, Heart…, hlm. 17.
[25] Alban J. Dachauer (ed.), The Sacred Heart: A Commentary…, hlm. 44; bdk. Bert van der Heijen, Cinta…, hlm. 12.
[26] Bert van der Heijen, Cinta…, hlm. 12.
[27] Alban J. Dachauer (ed.), The Sacred Heart: A Commentary…, hlm. 50.
[28] Pesta Pondok Daun yaitu pesta syukuran Bangsa Israel atas panen dan perjanjian yang dirayakan selama delapan hari di Bait Allah.
[29] Bert van der Heijen, Cinta…, hlm. 18; bdk. HA no. 2.
[30] HA no. 14.
[31] Alban J. Dachauer (ed.), The Sacred Heart: A Commentary…, hlm. 44.
[32] HA no. 2.
[33] Bert van der Heijen, Cinta…, hlm. 17.
[34] Bdk. HA no. 2; bdk. juga Bert van der Heijen, Cinta…, hlm. 17-18.
[35] Alban J. Dachauer (ed.), The Sacred Heart: A Commentary…, hlm. 44.
[36] Bdk. HA no. 3.
[37] Bdk. HA no. 18.
[38] Bernard Häring, Heart…, hlm. 44.
[39] KGK no. 461.
[40] Carthusian Monks, Ancient…, hlm. 7; bdk. HA no. 14.
[41] Bdk. HA no. 14.
[42] KGK no. 458; bdk. HA no. 14.
[43] KGK no. 221.
[44] Bdk. HA no. 22.
[45] HA no. 21.
[46] Konsili Vatikan II, “Cahaya Bangsa-bangsa” (GS), no. 22, 2 dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan penerangan KWI-Obor, 1993).
[47] HA no. 22
[48] HA no. 23.
[49] HA no. 20.
[50] Eusta Supono, “Makna Darah dan Air”, dalam Utusan, 11/ XLVII (1997), hlm. 469.
[51] Bert van der Heijden, Cinta…, hlm. 20; bdk. HA no. 33.
[52] Eusta Supono, “Makna Darah dan Air”, dalam Utusan…, hlm. 469.
[53] Eusta Supono, “Makna Darah dan Air”, dalam Utusan…, hlm. 469; bdk. HA no. 50.
[54] Eusta Supono, “Makna Darah dan Air”, dalam Utusan…, hlm. 469; bdk. HA no. 50.
[55] Bdk. HA no. 39.
[56] Eusta Supono, “Makna Darah dan Air”, dalam Utusan…, hlm. 470; bdk. Sekretariat Nasional Kerasulan Doa, Hati…, hlm. 20.
[57] Sekretariat Nasional Kerasulan Doa, Hati…, hlm. 19; bdk. HA no. 41.
[58] HA no. 39.
[59] Eusta Supono, “Makna Darah dan Air”, dalam Utusan…, hlm. 470; bdk. HA no.43.
[60] HA no. 50.
[61] Eusta Supono, “Mereka akan Memandang kepada Dia yang Mereka Tikam”, dalam Utusan, 12/ XLVII (1997), hlm. 506.
[62] Eusta Supono, “Mereka akan Memandang kepada Dia yang Mereka Tikam”, dalam Utusan…, hlm. 507; bdk. HA no. 39.
[63] Eusta Supono, “Mereka akan Memandang kepada Dia yang Mereka Tikam”, dalam Utusan…, hlm. 507-508; bdk. HA no. 39.
[64] Bert van der Heijden, Cinta…, hlm. 24.
[65] J. Waskito, “Hati Kristus bagi Zaman Sekarang”, dalam Utusan, 7/ XLVII (1997), hlm. 271.
[66] HA no. 12.
[67] Bernard B. Kedang, “Semangat Berkarya dan Devosi Hati Kudus Yesus”, dalam Utusan…, hlm. 213; bdk. Alban J. Dachauer (ed.), The Sacred Heart: A Commentary..., hlm. 42.
[68] HA no. 56.
[69] Alban J. Dachauer (ed.), The Sacred Heart: A Commentary…, hlm. 152.
[70] Bdk. HA no. 69.
[71] And. Madya Sriyanto, “Peranan Devosi kepada Hati Kudus Yesus dalam Kehidupan Para Imam”, dalam Fajar Liturgi, 11/IX (November, 1998), hlm. 275.
[72] And. Madya Sriyanto, “Peranan Devosi kepada Hati Kudus Yesus dalam Kehidupan Para Imam”, dalam Fajar Liturgi…, hlm. 274.
[73] And. Madya Sriyanto, “Peranan Devosi kepada Hati Kudus Yesus dalam Kehidupan Para Imam”, dalam Fajar Liturgi…, hlm. 275; bdk. HA no. 35.
[74] And. Madya Sriyanto, “Peranan Devosi kepada Hati Kudus Yesus dalam Kehidupan Para Imam”, dalam Fajar Liturgi…, hlm. 276; bdk. HA no. 62.
[75] Timothy Terrance O’Donnell, Heart of the Redeemer (San Fransisco: Ignatius Press, 1989), hlm. 272.
[76] Timothy Terrance O’Donnell, Heart…, hlm. 273.
[77] Alban J. Dachauer (ed.), The Sacred Heart, A commentary …, hlm. 57.
[78] Markus Marlon, “Makna dan Peranan Silih dalam Devosi Hati Kudus Yesus”, dalam Fajar Liturgi, 2/IX (Februari, 1998), hlm. 36.
[79] Bdk. HA no. 63.
[80] Bdk. HA no. 63; bdk. juga Fx. Sugiyana…, hlm. 38.
[81] HA no. 69.
[82] HA no. 70.
[83] HA no. 64.
[84] Schmutzer adalah seorang awam dari Belanda yang banyak bergerak di bidang sosial. Karya-karyanya di bidang sosial misalnya memberikan lapangan kerja bagi masyarakat, khususnya kerja di pabrik gulanya. Selain itu ia juga mendirikan 12 Sekolah dasar di Jawa Tengah (thn. 1919) dan mendirikan poliklinik untuk mendukung kesehatan (thn. 1930), serta mendirikan Gereja Hati Kudus Ganjuran.
[85] Hati Kudus Yesus, http://www.mirifica.net/2005/htm, 1 Mei 2007.
[86] I Nyoman Gde, Hati Kudus Yesus, http://www. Balipost.co.id/balipost/2000/4/20/op3.htm, 1 Mei 2007; bdk. Bert van der Heijden, Cinta…, hlm. 58.
[87] Suharyo, “Kehidupan Devosional dalam Kitab Suci”, dalam Rohani, 10/ XXVII (Okt. 1990), hlm. 380-381.

Cahaya: Menurut Suhrawardi

disadur dari skripsi Fr. Alexander fatunitsae
JALAN KESELAMATAN DALAM FILSAFAT
CAHAYA SUHRAWARDI
Suatu Tinjauan Deskriptif-Kritis

LATAR BELAKANG LAHIRNYA FILSAFAT CAHAYA SUHRAWARDI
Suhrawardi termasuk seorang filosof (filsuf) dan teosof[1] yang cukup terkenal. Ia hidup ketika filsafat dalam dunia Islam sedang berada pada posisi tidak menentu akibat serangan dari berbagai kelompok ortodoks. Dalam situasi demikian, ia tampil dengan filsafat cahaya sebagai wahana pencerahan untuk mengharmonisasikan pertentangan-pertentangan itu. Ia membangun suatu metodologi pemikiran dari dua tradisi besar dalam sejarah Islam. Pertama, ia mengadopsi metode diskursif yang bercorak rasional-filosofis dari filsafat Helenistik, Persia kuno, dan dari dunia Islam sendiri. Kedua, ia juga mengadopsi tradisi tasawuf[2] sebagai metode eksperiensial yang memiliki corak spiritualistik sufistik yang merupakan warisan dari tradisi tasawuf sebagaimana yang terdapat dalam dunia Islam, Zoroastrianisme, dan neo-Platonis.
Filsafat cahaya Suhrawardi merupakan bentuk rekonsiliasi dan sintesis dari berbagai pandangan filosofis yang ada dalam dunia Islam sebelumnya. Secara garis besar, ada dua hal yang melatar-belakangi munculnya pemikiran Suhrawardi. Pertama, reaksi kaum ortodoks atas filsafat. Pada tahap ini, kaum ortodoks memiliki konsep negatif terhadap kajian filsafat. Kedua, situasi kondusif yang memungkinkan pemikiran Suhrawardi mendapat tempat dalam dunia filsafat Islam. Suhrawardi hadir sebagai pembawa penyempurnaan pemikiran dalam dunia Islam.
Lewat argumen-argumen filosofisnya, Suhrawadi mampu menjelaskan ajaran tasawuf secara rasional. Suhrawardi mengadakan rasionalisasi melalui pemikirannya yang disebut Hikmat al-Isyraqiyyah[3] dengan konsep cahaya (mahhiyah al-nur).[4] Pemikiran Suhrawardi menandai babak baru sebuah filsafat keagamaan dan mistisisme[5] Islam. Suhrawardi hendak mentransendentasikan filsafat peripatetik[6] berdasarkan epistemologis yang penting kepada wahyu dan visi mistis. Konsep cahaya Suhrawardi lebih melukiskan filsafat mistis yang sistematis.[7]
KARYA-KARYA
Karya-karya yang membentuk filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi dapat dibagi dalam dua aliran, yakni aliran yang bersifat diskursif dan aliran yang bersifat intuitif. Aliran yang bersifat diskursif dikelompokkan atas tiga bagian. Pertama: al-Talwihat (The Book of Intimation), sebuah karya yang ditulis dalam bahasa Arab dengan memakai metode peripatetik.[8] Suhrawardi memakai metode peripatetik untuk menganalisis persoalan-persoalan dalam filsafat diskursif, kemudian ia menarik kesimpulan atas kebenaran terhadap suatu obyek tertentu[9] dan untuk menjelaskan proses pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi[10]. Kedua: al-Muqawamat (The Book of Oppositions), suatu karya yang mengacu kepada illuminasi yang lebih spesifik dan memiliki unsur diskursif yang lebih sempurna karena sistematika penyajiannya tentang filsafat illuminasi tersusun sangat teratur.[11] Ketiga: al-Masyari’ wa al-Mutharahat (The Book of Conversations), suatu karya yang menggambarkan filsafat illuminasi dan hasil analisis secara lebih mendalam dan terperinci.[12] Aliran yang bersifat intuitif, meliputi Hikmat al-Isyraqiyyah (The Theosophy of the Orient of Light), suatu karya yang memuat konsep Cahaya dalam filsafat illuminasi Suhrawardi. Karya ini disusun bersumber pada pengalaman intuisinya sendiri. Ia mengkombinasikan antara filsafat diskursif (al-hikmat al-bahtsiyyah) dengan pengalaman mistis.[13]
JALAN KESELAMATAN DALAM FILSAFAT CAHAYA SUHRAWARDI
Inti dari filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi adalah sifat dan pembiasan cahaya. Menurut Suhrawardi, Cahaya tidak dapat didefinisikan karena merupakan realitas yang paling nyata, jelas bahkan maha jelas, maha terang dan maha cemerlang. Bertitik tolak dari sifat kesempurnaannya, Suhrawardi memahami cahaya sebagai realitas ketuhanan, yakni Allah sendiri (Nur al-Anwar: Cahaya segala Cahaya).[14] Dengan demikian, maka Allah dilihat sebagai sumber dan Cahaya, yang dari-Nya akan lahir cahaya-cahaya lainnya. Cahaya-cahaya lain ada karena ditopang oleh Nur al-Anwar.[15]
Menurut Suhrawardi, kosmos dan seluruh isinya diciptakan melalui pancaran cahaya dari Nur al-Anwar. Dalam penyebarannya, Nur al-Anwar beremanasi dan melahirkan nur al-aqrab (cahaya pertama). Nur al-aqrab memiliki unsur kesamaan dengan sumbernya, hanya berbeda dalam tingkat kesempurnaan. Dalam merealisasikan dirinya, nur al-aqrab tetap bergantung pada Nur al-Anwar karena dia tidak sempurna dan mendapat pelimpahan cahaya melalui Nur al-Anwar. Ketika nur al-aqrab memikirkan dirinya, ia melahirkan bayangan pertama yang disebut ismus atau barzah[16] tertinggi. Berkat saling ketergantungannya dengan Nur al-Anwar, maka lahirlah cahaya kedua. Cahaya kedua akan memperoleh pancaran cahaya sebanyak dua kali, yakni satu kali dari nur al-aqrab dan satu kali dari Nur al-Anwar. Kemudian, cahaya kedua akan melahirkan cahaya ketiga. Cahaya ketiga akan menerima sebanyak empat kali pancaran, yakni dua kali dari cahaya kedua dan dua kali dari Nur al-Anwar. Selanjutnya, cahaya keempat menerima sebanyak delapan kali pancaran; dan cahaya kelima menerima enam belas kali pancaran. Jadi, setiap cahaya akan memancarkan cahaya secara berbeda-beda. Proses pemancaran dari satu cahaya ke cahaya berikutnya terjadi secara musyahadah (tanpa perantara).[17] Ia menembus setiap realitas dalam alam semesta, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik.
Proses emanasi cahaya-cahaya seperti di atas akan membentuk suatu keabadian gerak. Setiap gerakan selalu bergantung pada gerakan sebelumnya.[18] Gerakan-gerakan cahaya akan menyebabkan pembauran antara kualitas-kualitas yang berlawanan dengan benda-benda tertentu, sehingga menghasilkan entitas-entitas fisik. Gabungan yang paling sempurna dari entitas-entitas itu akan menghasilkan manusia dengan perantaraan malaikat Gabriel. Cahaya manusia dapat disamakan dengan buah kecakapan jasmani, yang di dalamnya ada unsur “kegairahan” atau sifat menguasai, unsur apetitif (afeksi), sifat lekas naik darah, memelihara (nutritive) dan berkembang biak (reproduktive).[19]
Suhrawardi mengatakan bahwa jiwa manusia memancar dari intelek kesepuluh.[20] Ia memahami intelek kesepuluh sebagai Roh Kudus dan roh kemanusiaan: satu disebut sebagai intelek-intelek (intelek biasa) dan satu lagi disebut sebagai intelek pencerah (uqul wa maqulat). Esensi dan eksistensi kedua intelek tersebut tidak ditentukan oleh lapisan yang paling bawah. Kedua intelek itu memiliki kecerdasan (inteligensi) dan disertai dengan jiwa surgawi dan tubuh murni.[21]
Di atas telah dijelaskan bahwa kosmos dan seluruh isinya diciptakan melalui pancaran cahaya dari Nur al-Anwar. Nur al-Anwar menjadi penyebab utama setiap realitas dalam alam semesta. Pancaran sinar-Nya membuat semua makhluk ciptaan, khususnya manusia merasa tertarik dan rindu untuk datang kepada-Nya. Rasa ketertarikan dan kerinduan manusia untuk makin dekat dengan Allah dapat dicapai di dalam praktek kehidupan mistik. Dengan demikian, mistisisme merupakan suatu proses yang membantu manusia menuju tahap pencerahan (illuminasi). Proses ini akan menghantar manusia kepada persatuan radikal dengan Nur al-Anwar, sehingga mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup kekal.[22]
Menurut Suhrawardi, ada beberapa tahap yang harus dijalankan oleh manusia untuk mencapai keselamatan dan hidup kekal. Tahap pertama: pengetahuan nalar. Pada tahap ini, manusia menangkap realitas alam semesta dengan kekuatan akal. Tahap kedua: kemampuan intuisi. Pada tahap ini hasil pengetahuan nalar diproses secara intuitif sehingga mampu memahami realitas ilahi dalam alam semesta. Tahap ketiga: praktek askese. Pengetahuan yang telah diperoleh melalui kemampuan intuitif akan menuntun manusia masuk dalam kehidupan yang penuh mistik melalui praktek askese. Di dalam praktek askese, manusia menerima pencerahan dari Nur al-Anwar. Tahap Keempat: pencerahan. Jiwa manusia yang telah mendapat pencerahan akan dimurnikan; dan setelah kematian, jiwanya akan mengalami kebahagiaan, yakni kehidupan abadi (tahap eskatologis) di surga.
PENUTUP
Suhrawardi adalah seorang filosof (filsuf) dan teosof (teolog) yang tergolong masih sangat muda, berwawasan luas dan memiliki daya juang yang tinggi. Suhrawardi mengembangkan filsafat Isyraqiyyahnya melalui pengalaman intuisi dan mistik. Ia mengkombinasikan filsafat diskursif dengan pengalaman mistis. Di dalam pengalaman mistik, Suhrawardi dapat menangkap kehadiran ilahi yang memanifestasikan diri melalui realitas alamiah.
Filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi merupakan ajaran spiritual yang sangat rasional. Secara implisit, Suhrawardi hendak mengatakan bahwa kehidupan manusia di dunia bersifat sementara. Jiwa manusia terbelenggu oleh ikatan materi sehingga menghambat proses perjalanan kembali kepada Nur al-Anwar. Oleh karena itu, manusia perlu hidup dalam kesufian yang penuh mistik agar melepaskan jiwa dari ikatan materi. Praktek hidup mistik bertujuan untuk mengarahkan manusia masuk dalam tahap kontemplasi dan askese. Di dalam komtemplasi dan askese, manusia akan menerima pencerahan dari Nur al-Anwar sehingga mencapai kesempurnaan hidup, yakni kesucian. Dengan demikian, manusia mencapai kesatuan penuh dengan Allah dan memperoleh kebahagiaan, yakni hidup kekal.
Suhrawardi adalah seorang tokoh yang telah mampu mengungkapkan suatu sintesa antara penalaran atau intelektual teoretis melalui filsafat Isyraqiyyah dan pemurnian hati dalam praktek sufisme. Suhrawardi merefleksikan realitas ilahi yang memanifestasikan diri di dalam realitas alamiah. Berhadapan dengan kedua realitas tersebut, diharapkan agar manusia menanggapinya dengan daya sensibilitasnya yang tinggi. Sistematika pemikiran Suhrawardi ini berhasil mengukuhkan pandangan dunia baru dalam Islam yang tetap bertahan sampai hari ini. Suhrawardi telah menciptakan suatu metafisika cahaya secara esensial yang sangat mulia melalui ruangan kosmik dan membimbingnya kepada kekuatan cahaya tertinggi, yakni Nur al-Anwar.[23]
Suhrawardi mampu membangun suatu filsafat yang cemerlang dan berdayaguna bagi generasi berikutnya. Walaupun demikian, secara metodologis, Suhrawardi mengabaikan orisinalitas pemikirannya sendiri. Suhrawardi mengadopsi atau mengambil sumber dari hasil pemikiran Plato, Hermes, dan filsuf-filsuf agung lainnya. Metodologi filsafat Isyraqiyyahnya didasarkan pada metodologi filsuf Persia, misalnya: Zoroaster. Mengkritisi pemikiran Suhrawardi, dapat dikatakan bahwa ajarannya tidak orisinal dan bukanlah khas ajaran Islam. Selain itu, Suhrawardi mengikuti gaya pemikiran Ibn Sina, khususnya dalam ilmu alam dan ketuhanan. Sistem hirarki cahaya Suhrawardi lebih mengacu kepada paham panteisme. Hal ini nampak dalam pandangannya bahwa keseluruhan Tuhan adalah wujud dan keseluruhan wujud adalah Tuhan. Filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi merupakan suatu bentuk ajaran yang di dalamnya tergabung unsur-unsur Islam, Zoroastrianisme, Hermes, dan lain sebagainya.[24]
Filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi kurang berkembang dalam dunia Islam Suni, karena kaum Suni mendasarkan ajarannya pada Al-Qur’an, sunah[25] (tradisi) Muhammad, ijma, dan qias[26]. Dalam bidang teologi, kaum Suni sangat menekankan sifat keesaan Allah dan membentengi tasawufnya dengan Al-Qur’an dan sunnah.[27] Bentuk hidup yang ditekankan adalah praktek hidup kesufian. Kaum Suni menolak segala bentuk rasionalisasi. Filsafat dianggap bertentangan dengan sifat keesaan Allah dan berbahaya terhadap kemurnian akidah.[28]
Di atas telah dijelaskan bahwa ajaran filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi kurang berkembang dalam dunia Islam Suni. Kendatipun demikian, dalam dunia Islam Syi’ah[29] ajaran filsafat Suhrawardi dipandang sebagai landasan untuk membangun hidup kerohanian. Inilah dasar utama yang membuat ajaran filsafat Suhrawardi berkembang subur dalam dunia Islam Syi’ah. Di kemudian hari, dalam dunia Islam filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi sangat berpengaruh dan tetap berkembang hingga sekarang.[30]
Suhrawardi mendasarkan filsafatnya pada dua tradisi pemikiran[31] dalam Islam, yakni aliran peripatetik dan aliran iluminasi. Filsafat Suhrawardi adalah perpaduan antara filsafat peripatetik dengan mistisisme Islam. Suhrawardi hadir sebagai tokoh yang membawa wahana baru bagi pemikiran filsafat dalam dunia Islam Suni. Filsafat Isyraqiyyah Suhrawardi membangkitkan kembali pemikiran filsafat yang telah hilang dalam dunia Islam Suni.[32] Di kemudian hari, bukan pemikirannya saja yang berpengaruh terhadap dunia Islam tetapi juga pribadinya. Ia digambarkan sebagai khalifah[33] yang adalah “wakil Allah” di bumi.[34]
Sistem kekhalifahan dan ketaatan kepada kalifah menjadi suatu struktur organisasi yang memiliki otoritas yang kuat pada seluruh tingkatan masyarakat. Struktur kekhalifahan Suhrawardi dengan mudah mengakar dan berkembang di anak benua India. Di India, terdapat sejumlah kelompok religius dengan ritus keagamaan sufi dan praktek doa-doa pribadi. Ritus keagamaan sufisme Suhrawardi berkembang menjadi suatu pola hidup yang menarik perhatian masyarakat banyak. Hal ini ditandai dengan praktek-praktek kegiatan religius[35] seperti doa, puasa, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, berjaga-jaga, dzikir, dan merenungkan Allah. Dalam mempraktekkan pola hidup keagamaan seperti itu, mereka mengacu kepada karyanya yang terkenal dan termasyur, yang berjudul “Awarifu’l-Ma’arif”.[36]
Praktek-praktek kesalehan seperti di atas membuat umat Muslim – sebagaimana yang terdapat di anak benua India – terpengaruh akan konsep kehidupan akhirat. Mereka yakin bahwa praktek hidup asketik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kebiasaan-kebiasaan yang muncul adalah mencoba melepaskan diri dari ketertarikan dan khayalan-khayalan jasmani yang menghambat praktek kerohanian. Praktek hidup ini membantu mereka dalam usaha pencarian untuk menemukan kedamaian dan ketenangan di akhirat. Mereka berusaha mempersatukan keinginan hati, akal dan jiwa untuk masuk dalam keheningan bathin sehingga mendapat pencerahan rohani. Mereka yakin bahwa jiwa yang telah dibersihkan dari dosa akan menerima Cahaya Tuhan sehingga dapat mengadakan komunikasi spiritual dengan-Nya. Dengan demikian, manusia setelah jiwanya terlepas dari tubuh akan mendapat kebahagiaan di surga.[37]

[1] Istilah teosofi berasal dari bahasa Yunani Theos artinya Allah, dan sophia artinya kebijaksanaan. Teosof adalah orang yang berusaha mencari dan mengolah kecenderungan-kecenderungan dalam diri manusia dengan tujuan mencapai suatu visi tertentu tentang Allah [lih. Lorens Bagus, “Teosofi”, dalam Kamus Filsafat …, hlm. 1101.]
[2] Tasawuf maksudnya ajaran-ajaran yang berkaitan dengan iman atau dogma agama Islam. Tasawuf juga sering disebut sebagai ajaran mistik yang memberi perhatian lebih ke alam batiniah. Tasawuf baru muncul pada pertengahan abad kedua Hijriah. Perintisnya adalah Ibrahim bin Adham, Rabi’ah al-‘Adawiyah. Ajaran ini muncul karena pengaruh pertemuan antara filsafat mistik neo-platonisme dan Hindu-Buddha [lih. Simuh, “Islam Agama Rasional”, dalam Gatra (Jakarta), 22 Desember 2001, hlm. 34, klm. 3-4.]
[3] Istilah al-Isyraqiyyah dibentuk dari dua kata, yakni: pertama, kata sharq yang berarti matahari terbit. Sedangkan dalam bahasa Arab kata Isyraqi berarti pencahayaan, atau illuminasi; kedua, kata mashriq berarti Timur. Penggunaan kata Isyraqiyyah dalam filsafat illuminasi Suhrawardi ini sangat terkait dengan simbolisme matahari yang terbit di Timur dan menerangi alam semesta [lih. Ahmad Hasan Ridwan, “Filsafat Isyraqiyyah (illuminatif) Suhrawardi Al-Maqtul”, dalam Al-Jami’ah (Yogyakarta) no. 62/XII/1998, hlm. 79.]
[4] Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. xxi.
[5] Mistisisme dalam pandangan Islam dimengerti dengan istilah tasawuf, yang oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Tasawuf atau sufisme merupakan aktivitas spiritual yang bertujuan membangun relasi personal dengan Tuhan. Salah satu syarat utama yang dituntut adalah kesadaran akan komunikasi antara roh manusia dengan Tuhan lewat pengasingan diri dalam hidup kontemplasi [lih. Dr Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 56.]
[6] Peripatetics (Yunani): berjalan keliling; berasal dari cara mengajar dari Aristoteles. Pengikut-pengikut Aristoteles yang ikut mendirikan sekolah filsafat peripatetik berusaha mempopulerkan sekolah itu. Kemudian para penganut peripatetik sebagian besar menjelaskan dan menafsirkan pelajaran Aristoteles. Di kemudian hari, para penggemar sekolah ini berusaha mempertahankan ajaran-ajaran pokok pendiriannya terhadap stoiscisme, tetapi sebagian mengembangkannya dengan metode mereka sendiri [lih. Hassan Shadily et al., “Peripatetics”, dalam Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 848.]
[7] Hossein Ziai (ed.), Suhrawardi …, hlm. 13.
[8] Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A., Filsafat …, hlm. 144.
[9] Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 21.
[10] Pengetahuan intuitif sebagai bentuk pengetahuan yang mampu menghantar seseorang untuk sampai pada “kebijaksanaan”, seperti yang telah dialami oleh beberapa filsuf, misalnya, Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj. Bisa dikatakan bahwa Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj telah sampai pada penyatuan dengan intelek aktif [lih. Hossein Ziai, Suhrawardi …, hlm. 26.]
[11] Hossein Ziai, Suhrawardi …, hlm. 27.
[12] Hossein Ziai, Suhrawardi …, hlm. 28; bdk. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm 24.
[13] Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 26-27.
[14] Ahmad Hasan Ridwan, “Filsafat …”, hlm.81.
[15] Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat…, hlm. 146-147; bdk. Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam (judul asli: A History of Islamic Philosophy), diterjemahkan oleh Drs. R. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 409-410.
[16] Ismus atau barzah merupakan sisi gelap dari Nur al-Aqrab. Bagi Suhrawardi, hubungan antara dunia cahaya dan kegelapan dipisahkan oleh suatu dunia yang disebut barzah. Barzah adalah suatu ungkapan yang mengacu kepada pemisahan antara dunia cahaya dan dunia kegelapan. Istilah barzah tidak memiliki hubungan dengan masalah alam yakni kematian. Barzah sifatnya transparan sehingga bila terkena pantulan cahaya dapat masuk ke dalam terang; dan sebaliknya jika tidak terkena sinar, barzah akan jatuh ke dalam kegelapan mutlak dan menghilang; misalnya: sebuah benda hitam ditempatkan dalam kamar yang gelap. Barzah hanya dapat mengeluarkan cahaya apabila mendapat pancaran cahaya dari obyek yang berasal dari luar dirinya [lih. Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 59.]
[17] Ahmad Hasan Ridwan, “Filsafat …”, hlm. 82; bdk. Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 69; bdk. juga Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A., Filsafat …, hlm. 150-152.
[18] Majid Fakhry, Sejarah …, hlm. 414.
[19] Majid Fakhry, Sejarah …, hlm. 415; bdk. Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A., Filsafat …, hlm. 151-153.
[20] Pandangan Suhrawardi mengenai emanasi dipengaruhi oleh Ibn Sina [lih. Abdul Azis Dahlan (ed), “Ibn Sina”, dalam Ensiklopedi Islam, vol. I …, hlm. 89.]
[21] Algis Uzdavinys, Devine Light in Plotinos and Al-Suhrawardi, http://www.ishkbooks.com./books/MYvT1.html, 19 Maret 2007.
[22] Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A., Filsafat …, hlm. 166.
[23] Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 84-93.
[24] Ahmad Hasan Ridwan, “Filsafat …”, hlm. 85-87.
[25] Sunah berasal dari bahasa Arab as-sunnah yang memiliki beberapa pengertian. Pertama: at-tariqah, yang berarti jalan, cara, metode, baik yang terpuji maupun yang tercela. Kedua: as-sirah, yaitu perikehidupan, perilaku. Ketiga: at-tabi’ah, yaitu tabiat, watak. Keempat: asy-syari’ah, yaitu syariat, peraturan, hukum. Kelima: as-hadis, yaitu perkataan, perbuatan dan takrir Muhammad. Menurut para ahli hadis, sunah adalah segala perkataan, perbuatan, takrir, sifat, keadaan, tabiat, watak dan sirah (perjalanan hidup) Muhammad baik yang berkaitan dengan masalah hukum maupun tidak [lih. Abdul Azis Dahlan (ed), “Sunah”, dalam Ensiklopedi Islam, vol. V …, hlm. 296-297.]
[26] Ijma adalah persetujuan (consensus). Ada beberapa pengertian menurut ilmu Ushul Fiqh, yakni: pertama: kesepakatan para ulama mutjahid atas suatu hukum pada suatu masa tertentu; kedua: kesepakatan para ulama mutjahid setelah wafatnya Muhammad dalam suatu masa dari beberapa masa mengenai suatu masalah atau beberapa masalah (urusan); ketiga: kesepakatan ahlul halli dan aqli dari ummat Muhammad pada suatu masa dari beberapa masa atas suatu hukum yang terjadi dari beberapa kejadian. Kesepakatan yang dimaksud di sini juga termasuk kesepakatan para ulama dalam memahami ayat Al-Qur’an dan Hadits. Kesepakatan dan keputusan para ulama wajib diterima; sedangkan kesepakatan dan keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang bersifat duniawi dan ibadat tidak disebut dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan istilah qiyas berati ukuran atau bandingan. Ilmu Ushul Fikh mengartikan qiyas sebagai dikeluarkannya suatu bentuk hukum yang disebutkan kepada yang tidak disebutkan dengan merangkum keduanya. Artinya, menghasilkan hukum pokok pada cabang karena bersamaan ketentuannya pada illat (yang menyebabkan adanya hukum) pada sisi kaum Mudjahid [lih. Dr. Mochtar Effendy, S.E, “Qiyas” dalam Ensiklopedi Agama …, hlm. 42, 408.]
[27] Bertitik tolak dari sifat keesaan Allah, fakta historis membuktikan bahwa perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam Suni pernah mengalami hambatan. Hal ini dilatarbelakangi oleh kritikan Al-Gazali terhadap filsafat dalam karyanya Tahafut al-Falasifah. Sikap Al-Gazali ini menimbulkan konsep negatif dan menumbuhkan sikap apriori terhadap kajian filsafat. Konsekuensi logis yang timbul dalam diri generasi berikutnya ialah bahwa mempelajari filsafat merupakan suatu usaha yang sia-sia. Akibatnya, perkembangan ilmu filsafat dalam dunia Islam Suni menjadi terhambat, bahkan berada pada ambang kehancuran [lih. Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 84-86.]
[28] Bdk. Abdul Azis Dahlan (ed), “Suni”, dalam Ensiklopedi Islam, vol. IV …, hlm. 298-301.
[29] Syi’ah dari segi bahasa berarti pengikut, kelompok, atau golongan. Syi’ah merupakan suatu kelompok minoritas dalam Islam. Kaum Syi’ah berpendirian bahwa yang seharusnya berkuasa setelah Muhammad wafat adalah Ali bin Abi Thalib. Ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai sejarah lahirnya Islam Syi’ah. Sebagian ahli mengatakan bahwa Syi’ah lahir langsung setelah Muhammad wafat, yakni pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirah dan Ansar di balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Namun pendapat yang populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan khalifah Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin [lih. Abdul Azis Dahlan (ed), “Syi’ah”, dalam Ensiklopedi Islam, vol. V …, hlm. 5-6.]
[30] Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 87-93.
[31] Aliran peripatetik bersumber pada metode silogisme Aristoteles, yang berusaha mencapai kebenaran dengan nalar; sedangkan aliran iluminasi menggabungkan doktrin emanasi Plato, mistik Persia kuno dan Islam yang memandang intuisi intelektual sebagai sarana untuk mencapai kebenaran [lih. Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 86.]
[32] Drs. Amroeni Drajat, M. Ag., Filsafat …, hlm. 87.
[33] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah khalifah diartikan sebagai: pertama: wakil (pengganti) Muhammad setelah wafat dalam urusan negara dan agama yang melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan negara; kedua: sebagai gelar kepada pemimpin agama dan raja dalam negara Islam. Sedangkan dalam Ensiklopedi Agama dan Filsafat diberi penjelasan demikian: Khalifah dalam bahasa Arab berarti pengganti atau wakil. Istilah khalifah juga ditemukan di dalam Al-Qur’an. Di sana dikatakan: “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah- khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka” (surat Fatir, 35, 39). Teks ini hendak menegaskan bahwa Allah memberikan kedudukan kepada manusia sebagai khalifah-Nya di dunia. Manusia adalah makhluk yang mulia dan paling sempurna. Oleh karena itu, ia mengemban amanat Allah dan menjadi wakil Allah di muka bumi untuk mengurus dan mengelola bumi serta isinya sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya [lih. Mochtar Effendy, (ed.), “Khalifah” dalam Ensiklopedi Agama dan Filsafat, vol. I …, hlm. 175.]
[34] Qamar-ul Huda, “Striving for …”, hlm. 612.
[35] Dalam dunia dewasa ini, ritus keagamaan sufisme Suhrawardi bisa dibandingkan dengan praktek-praktek kesalehan umat Muslim di bulan Ramadhan (istilah Ramadhan dalam bahasa Arab disebut ramadan, [bentuk jamaknya: ramadanat atau ramida], yang berarti bulan kesembilan dari tahun Hijriah. Menurut pengertian bahasa, istilah ramadan berarti amat panas. Pengertian ini diberikan oleh orang-orang Arab pada bulan kesembilan karena pada bulan tersebut cuaca di daerah padang pasir terasa sangat panas oleh terik matahari). Dalam tradisi Islam, bulan Ramadhan memiliki makna istimewa dan kedudukan yang mulia. Keistimewaan dan kemuliaan tersebut, antara lain: pertama: diturunkannya Al-Qur’an (Nuzulul Qur’an); kedua: satu-satunya nama bulan yang terdapat dalam Al-Qur’an yakni surat al-Baqara, 2: 185; ketiga: kemenangan besar yang diperoleh Rasullulah SAW bersama kaum Muslimin dalam perang Badr al-Kubra (besar) yang membangkitkan semangat juang umat Islam untuk maju; keempat: Allah melimpahkan pahala yang sangat tinggi kepada orang yang melakukan ibadah dan amal kasih; kelima: dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka; keenam: pengampunan dosa bagi orang yang berpuasa dengan penghayatan yang mendalam [lih. Abdul Aziz Dahlan (ed), “Ramadhan”, dalam Ensiklopedi Islam vol. IV …, hlm. 154.]
[36] Qamar-ul Huda, “Striving for …”, hlm. 612-613.
[37] Qamar-ul Huda, “Striving for …”, hlm. 613.